Pemerintah sedang memproses pembubaran HTI secara hukum karena organisasi itu dianggap meresahkan dan ideologinya bertentangan dengan Pancasila. HTI menolak adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena dinilai tidak sejalan dengan negara Islam berbentuk khilafah yang dikampanyekan HTI. Mereka menolak dianggap bertentangan dengan Pancasila dikarenakan HTI bernaung di bawah Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan dan telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 2 Juli 2014 saat Pemerintahan SBY. HTI tidak setuju dengan adanya demokrasi karena menolak gagasan bahwa rakyat harus berpatisipasi dalam membuat hukum dan peraturan, sedangkan bagi HT, manusia itu hanya pelaksana hukum dan peraturan.
Pembuatnya adalah Allah melalui Al-Quran dan Hadits. Tetapi HT tidak menolak kebebasan berekpresi yang diberikan oleh demokrasi, karena menurut mereka kebebasan berdakwah adalah hak. Ismail Yusnanto mulai berhati-hati ketika menjelaskan struktur organisasi HTI. “Di HTI, semua ketua, saya juga ketua,” ujar lulusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1988 itu di markas HTI di perkantoran Crown Palace, Tebet, Jakarta Selatan. Untuk memperdalam pengetahuan kita tentang sejarah khilafah, saya menyarankan untuk membaca buku The Fall of The Khilafah karya Eugene Rogan. Kemudian untuk menambah wawasan dunia keislaman buku Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban karya Fazlur Rahman layak dicermati. Satu buku lagi yang sangat saya sarankan berjudul Jihad, Khilafah dan Terorisme dari Maarif Institute yang bekerjasama dengan Mizan sebagai penerbit.
Saya menilai gagasan yang digadangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ini sangat absurd. Hal yang paling mencolok ketika dengan tegas mereka menolak demokrasi tetapi tidak menolak kebebasan berekspresi dan bermusyawarah. Kemudian mereka merancang undang-undang hanya berdasarkan Al-Quran dan Hadits sedangkan di sana tidak dijelaskan secara rinci bagaimana cara membangun suatu sistem kenegaraan.
Sudah pasti rancangan undang-undang yang dibuat oleh HTI menggunakan cara-cara ijtihad. Lantas apa perbedaannya dengan UUD 1945 yang dirancang dengan cara bermusyawarah dan Pancasila yang telah disepakati oleh para tokoh nasionalis dan ulama terdahulu? Apakah doktrin asing Hizbut Tahrir (HT) lebih cocok jika diterapkan di dalam negeri? Tidakkah konsep khilafah HTI itu sendiri memiliki kemiripan dengan demokrasi terpimpin pada masa pemerintahan Bung Karno? Bukankah kemerdekaan Republik Indonesia diraih dengan perjuangan para pahlawan nasional tanpa dibantu oleh gerakan HT?
Sesungguhnya mayoritas rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia menginginkan perdamaian. Bukannya malah berpecah belah hanya karena memaksakan kehendak pribadi atau golongan tertentu. Saya teringat cerita seorang teman setelah melakukan pendakian gunung di Maluku. Ia adalah seorang yang berpikir bebas namun tetap taat menjalankan perintah agama. Ia sempat merasakan keresahan ketika ada salah seorang rekan yang menyebutnya kafir hanya karena ia mengikuti kuliah umum tentang filsafat ketuhanan meskipun ia masih menjalankan Rukun Islam, berbuat baik terhadap sesama manusia, berusaha menjaga alam dari kerusakan, dan tetap percaya bahwa agamanya yang terbaik. Lalu ia berkata kepada saya, “kok bisa ya ada orang yang menghina, terus marah-marah, sampe mengkafirkan seseorang? Padahal yang gua rasain setelah solat itu tenang dan damai banget.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H