Sejarah politik hukum pertanahan di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan sejak masa kolonial hingga era reformasi. Pada masa kolonial, kebijakan pertanahan disusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi kolonialisme yang cenderung eksploitatif, dengan mengutamakan kepentingan ekonomi penjajah dan memarjinalkan penduduk pribumi.Â
Setelah kemerdekaan, disusunlah hukum nasional terkait pertanahan tepatnya pada 24 September 1960 lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), dengan landasan sebagaimana terurai di penjelesan umum UUPA bahwa aturan kolonial yang ada tidak sesuai dengan kepentingan Nasional saat itu serta tidak memberikan kemakmuran, kebahagian dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam masyarakat adil dan makmur waktu itu selain itu sebelum berlakunya UUPA terdapat unifikasi hukum pertanahan sehingga terbitnya UUPA mendorong kesatuan hukum sehingga terlahir kepastian hukum.
Dalam perjalanan saat ini, politik hukum pertanahan di Indonesia tidak benar-benar memberikan kesejahteraan rakyat serta kepastian hukum didalamnya sebagaimana di inginkan Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."serta tujuan dari UUPA yang terdapat dalam penjelasan umum sebagaimana diuraikan diatas, sehingga seringkali hukum pertanahanan nasional menghadapi berbagai persoalan.Â
Masalah utama yang sering muncul adalah konflik pertanahan yang melibatkan masyarakat adat, petani, dan perusahaan besar, baik nasional maupun asing. Konflik ini sering dipicu oleh ketidakjelasan status kepemilikan tanah, tumpang tindih peraturan, dan praktik korupsi yang merajalela. Selain itu, implementasi kebijakan pertanahan sering kali tidak berjalan efektif akibat kurangnya koordinasi antar lembaga negara terkait serta lemahnya penegakan hukum.
Salah satu kerancuan hukum pertanahan di Indonesia saat ini yaitu dimungkinkannya ormas keagamaan memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), apabila ditelurusi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara (PP 25/2024), izin pertambangan yang dapat diberikan kepada ormas keagamaan adalah Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), IUPK sendiri sebagaimana diatur dalam PP 25/2024 yaitu izin usaha yang diberikan sebagai perpanjangan setelah selesainya pelaksanaan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Lahirnya izin IUPK bertujuan pemberdayaan (empoweing) kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan. Tujuan ini apabila dikaitkan dengan sumbangsih ormas keagamaan terhadap bangsa dan negara, tapi tidak demikian apabila perspektif hukum yang digunakan, PP 25/2024 khususnya berkaitan dengan IUPK ormas keagamaan tidak berprinsip pada asas-asas peraturan perundang-undangan serta tidak melahirkan kepastian hukum didalamnya.
Pertama, sebagaimana pernah diungkapkan oleh Koordinator Nasional Publish What Yo Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho bahwa dalam Pasal 83A dan Pasal 195B ayat (2) PP 25/2024 bertentangan dengan keberadaan Undang- Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), dimana subyek hukum yang berhak terhadap IUPK tersebut dapat terdiri BUMN, badan usaha milik daerah, atau Badan Usaha swasta.Â
UU Minerba tidak mengenal adanya subyek hukum lain yang mendapatkan IUPK seperti yang diatur dalam PP 25/2024 yaitu "ormas keagamaan". sehingga keberadaan PP 25/2024 berkaitan dengan subyek hukum IUPK bertentangan dengan UU Minerba dan dan melanggar prinsip lex superior derogat legi inferiori maknanya peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Kedua, sebagaimana kita ketahui, ormas tidak dikenal sebagai subyek hukum pemberian IUPK dalam UU Minerba, apabila ada yang mengatakan bahwa yang menjadi subyek IUPK bukan ormas secara langsung melainkan adalah Badan Usaha dari ormas yang bersangkutan, apabila yang demikian maka sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat (4) UU Minerba bahwa Badan Usaha swasta untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK.Â
Lalu pertanyaannya apakah yang demikian terjadi terhadap ormas keagamaan sebagaimana diatur dalam PP 25/2024, sehingga sangat jelas keberadaan norma dalam PP 25/2024 yang bertentangan dengan Undang yang berada diatasnya menyebabkan adanya tumpang tindih aturan hukum sehingga memunculkan ketidak jelasan norma dan tidak memberikan kepastian hukum dan pemerintah sebagai pembuat Peraturan Pemerintah dapat dikatakan telah melaksanakan kegiatan Abuse of power atau bermakna melakukan tindakan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu.