Mohon tunggu...
Yulianri Rizki Yanza
Yulianri Rizki Yanza Mohon Tunggu... Student / Assistant Professor -

PhD Student Of Poznan University of Life Science

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benarkah Wujud Pemimpin Sejati Bangsa Indonesia Bersemayam Dalam Diri Budiman Sudjatmiko?

24 Januari 2014   22:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:29 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Yulianri Rizki Yanza*

*(Mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor)


Artikel Untuk RubrikBuku The Next Indonesian Leader

Ulasan Pembuka

Serpihan-serpihan kenangan yang kuingat tentang orde baru lebih banyak menceritakan tentang pengagungan Sang “Smiley General“ dan kepahlawanannya bagi bangsa. Bahkan saatku masih di sekolah dasar ia pun menjadi tauladan mimpi-mimpi para bocah di hampir seluruh hamparan nusantara, mungkin. Tentang bagaimana hebatnya seorang pemimpin bangsa yang menjadi orang terpercaya di bangsa yang luasnya hampir mencapai luas eropa. Malah bisa jadi patut untuk dicontohi para bocah-bocah di masanya -termasuk saya- selain Bapak kita, “Sang Putra Fajar” Ir. Soekarno. Sekarang pun banyak tokoh-tokoh publik yang bermunculan dan diproyeksikan menjadi pemimpin bangsa berikutnya, banyak yang terkenal dan banyak pula yang kurang eksis. Kemudian aku mendengar dua tahun lalu nama seorang pendobrak di balik sejarah reformasi indonesia, ternyatanamanya menggema lebih keras dari dugaanku. Dialah Budiman Sudjatmiko yang telah mengukir namanya pada platform sejarah kebangkitan bangsa Indonesia di akhir masa orde baru, tahun 1996-1999. Ia terkenal diantara para aktivis dan para cendekia muda. Padahal namanya samar-samar dalam kenanganku, siapa dia sebenarnya, aku pun juga ingin mengenal lebih dekat. Mungkin saja tulisan ini bisa jadi menjadi suatu cara untuk mengenal lebih dekat tentang Sang Budiman Sudjatmiko, harapanku.

Orde Baru. Era dimana suatu era bagi bangsa ingin memperbaiki diri, katanya. Namun ketika semua terkuak justru bangsa ini penuh luka-luka dan borok-borok yang sudah lama tak diobati. Tapi apa daya, luka tetaplah luka, borok tetaplah borok. Luka-luka bangsa memang meninggalkan sakit, berkurap, bekas dan tidak enak untuk dipandang maupun diusap. Namun bukan berarti luka itu tidak bisa diobati dan disembuhkan. Lalu apa yang dapat menyembuhkan luka-luka bangsa ini? Apa “ia yang kita sebut dengan ideologi? Padahal bangsa ini sudah sepakat untuk berlandaskan satu ideologi, yakni Pancasila nan agung. Atau program? Atau tindakan? Moral? Teknologi? Atau lainnya? atau mungkin keseluruhan hal-hal tersebut? Tentunya kita berharap semua elemen itu bisa menjadi penyembuhan total untuk bangsa ini. Namun tidak mungkin keseluruhan hal itu bisa dilakukan tanpa adanya peran rakyat yang dinamis karakternya untuk mengetahui obat seperti apa yang manjur untuk kesembuhan “sakitnya” bangsa ini. Lalu jika rakyat sendiri masih bingung, kepada siapa rakyat harus menyandarkan diri –selain Tuhan, karena kita tahu bangsa ini tentunya meng-EsakanTuhan- dan mampu membawa bangsa dan negara ini menuju kesembuhan total?

Pemimpin. Tentunya kita semua bersepakat akan pentingnya pemimpin yang menjadi wujud penentu ke semua hal-hal yang diharapkan diatas. Bahkan orang-orang terdahulu –sebelum lahirnya tahun masehi- masih sempat untuk terus memberikan wejangan akan pentingnya wujud seorang pemimpin yang lurus, tangguh, bijaksana, dan lebih mementingkan kesejahteraan rakyatnya diatas apapun. Seperti yang ditekankan oleh Konfusius ketika ditanya oleh adipati Lu -penguasa negeri China abad ke-4 SM- tentang bagaimana harusnya cara memimpin yang baik, “Memimpin adalah berjalan dengan lurus. Jika Tuan memimpin dengan lurus, siapakah diantara rakyat Tuan yang akan menyeleweng?”1. Tetapi lagi-lagi, luka adalah luka, borok adalah borok. Tentunya pemberontakan lahir karna sebab. Seiring perjalanannya meniti jalan demokrasi, negara dan bangsa ini seolah menurutku lupa akan masa lalu dan memandang masa depan tanpa peduli pentingnya masa ini, dan masa lalu.

Terlalu banyak dan kompleks penyelewengan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin kita berdasarkan paparan sejarah hingga saat ini. Bahkan penyelewengan ini sudah mengakar di hampir setiap individu dalam masyarakat dan menjadi kebutuhan mental. Hal ini bisa diasumsikan karena adanya ketidakpercayaan atas Negara. Negara yang dipimpin oleh tuan-tuan yang bertengger diatas “pohon-pohon” kekuasaan -lembaga kekuasaan- dan lupa untuk menyuburkan rakyatnya yang ada di permukaan. Sehingga terciptanya ketidakpedulian rakyat akan ada atau tidaknya peran pohon-pohon kekuasaan yang harusnya saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Karena unsur-unsur adanya pohon-pohon itu juga berasal dari permukaan. Begitulah menurutku yang turut merasakan fenomena ini di Indonesia. Tentunya hal ini juga yang dirasakan para aktivis Indonesia yang cenderung dari kalangan mahasiswa sejak Indonesia merdeka. Mungkin itu pula yang membangkitkan jiwa seorang aktivis sekelas Budiman Sudjatmiko yang dulunya juga seorang mahasiswa, untuk berani memanjat “pohon-pohon” itu dan menebar benih-benih ke permukaan, yakni rakyat kecil -katanya. Namun apakah ia sama perilaku bertenggernya dengan tuan-tuan diatas pohon itu dan kemudian lupa dengan rakyatnya? Apakah dia merupakan pemimpin Indonesia berikutnya yang ditunggu-tunggu oleh bangsa ini?

Pemimpin Sejati, Bangsa dan Negara

Pemimpin merupakan seseorang yang berperan sebagai ujung tombak dalam menentukan suatu kelangsungan hidup atau nasib suatu kelompok, komunitas, bahkan negara maupun bangsa. Kita semua bersepakat tentang hal itu, betapa pentingnya peran seorang pemimpin dalam membawa kesejahteraan unsur-unsur yang ada di dalamnya. Termasuk dalam berpikir, bertindak, berkeputusan, kebijaksanaan dan pertanggungjawabannya untuk masyarakatnya serta bagaimana pemimpin bersama rakyat akan menyejahterakan suatu kelompok, komunitas, hingga konteks seluas negara. Sehingga dapat diasumsikan bahwa figur seorang pemimpin merupakan refleksi bagaimana rakyatnya. Jika pemimpin sendiri bingung, lalu apa rakyat juga tidak bingung? Pernah berkata Konfusius dalam dialognya dengan Adipati Lu “Kebajikan (moral) seorang pemimpin ibarat angin, sementara kebajikan rakyat ibarat rumput. Sifat rumput adalah tunduk kemana angin berhembus meniupnya”2. Para pendahulu sebelum tahun Masehi pun masih sempat menasehati kita, padahal entah bagaimana kacaunya kondisi negara si Adipati Lu pada waktu itu.

Kita sepertinya perlu mengulas kembali makna dari kata bangsa. Bangsa secara terminologi merupakan identitas masyarakat berdasarkan asas kemiripan dan kesamaan, baik itu identitas, sejarah, keturunan, agama, budaya, dan asal-usulnya. Para pendahulu kita telah bersepakat sejak 68 tahun lalu untuk berkumpul dalam satu bangsa berdasarkan sejarah kita yang sama-sama pernah dijajah bangsa lain di hamparan nusantara, yakni bangsa Indonesia. Hegemoni ini menjadi doktrin yang diwariskan ke anak cucu saat ini untuk berkesadaran bahwa di sepanjang hamparan nusantara dari sumatera hingga papua, kita merupakan satu bangsa. Doktrin ini merupakan doktrin etikadan filsafat, dan merupakan awal dari ideologimenurut Hans Kohn.Dengan demikian, faktor objektif terpenting bagi terbentuknya suatu bangsa ialah adanya kehendak atau kemauan bersama ("nasionalisme")3.Doktrin yang dimaksudkan disini dan sudah dilahirkan dalam wujud Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Artinyakita yang bertebaran di nusantara berdiri tegak sebagai sebuah bangsa walaupun banyaknya faktorpembeda dengan latar belakang yang sama, yakni target jajahan bangsa lain dan berlantai dasar filosofi-filosofi Pancasila. Namun pada kenyataannya rasa dan jiwa kebangsaan tersebut yang ditekankan sejak Sekolah Dasar telah luntur ketika anak-anak yang menjadi pemuda-pemudi generasi saat ini dan cenderung terpengaruh tren modern. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tren-tren teknologi, mode, media sosial dan pola pikir yang ditularkan mempengaruhi masyarakat, terlebih para remaja tanggung. Mereka tentunya punya wawasan kebangsaan namun jiwa kebangsaannya hanya sebagian yang mampu menunjukan sikapkebangsaan. Padahal kita tahu peran serta pemuda -cenderung berdasarkan sejarah adalah mahasiswa dan berpendidikan dalam kemasan “cendikia”- sangat vital untuk kedaulatan bangsa Indonesia. Sampai-sampai presiden pioner kita Ir. Sukarno pun menekankan pentingnya peran pemuda dalam sebuah bangsa, “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kugoncangkan dunia!”. Karena tentunya ia tahu bahwa pemudalah yang menjadi penerus semangat bangsa, dan diantaranya pasti ada yang menjadi pemimpin negara Indonesia.

Negara merupakan satu kesatuan sistem yang menjadi representatif dalam penyatuan rasa tersebut. Indonesia pun akhirnyamampu mendeklarasikan 17 Agustus 1945 sebagai sebuah negara Republik. Yaitu suatu bentuk pemerintahan berkedaulatan rakyat dan dipimpin oleh presiden4, suara bulat rakyat lah yang menjadi sumber wujud negara. Artinya masyarakat bangsa Indonesia telah mempercayakan sistemnya kepada negaraIndonesia pasca kolonial khususnya kepada para pemimpin negara yang merupakan manisfestasi suara bangsa. Bagaimana nasib bangsa diserahkan sepenuhnya kepada negara dan keputusan pemimpinnya tentang arah, aturan dan apa yang harusnya dilakukan rakyat. Tetapi fenomena dan fakta yang kita lihat apa sesuai dengan yang diharapkan bangsa dan rakyatnya? Menurutku justru kebanyakan yang kita lihat dari para pemimpin saat ini tak ada bedanya dengan para artis-artis hiburan dengan kenikmatan keglamoran dan harus menjadi pusat perhatian, entahlah menurut yang lain. Bedanya dengan para artis merekalah yang bertugas mengurus negara ini.

Keadaan yang terlihat dan timbul di Indonesia yakni begitu banyak ketimpangan baik dari segi sistemik kelembagaan negara, moral, kebijakan hingga kebebasan dalam bernegara. Korupsi sudah bukan tabu lagi diantara para pemimpin, jasa calo sana-sini sudah menjadi “jalan pintas utama”, berharap bekerja di kota karena di desa merasa terbelakang, Harga melonjak tinggi setiap tahun sedangkan daya beli masyarakat kebanyakan masih rendah, perbedaan antar kelas masyarakat yang deviasinya bisa tergolong tinggi, serta tumbuhnya budaya konsumtif. Lalu dimana letak kesalahannya? Pada negaranya, pemimpinnya, rakyatnya atau keseluruhannya?

Seandainya keseluruhan, berarti letak kesalahannya menurut saya berada pada “kesadaran” manusianya sebagai elemenwujud tegaknya bangsa. Kesadaran yang didefenisikan sebagai suatu keadaan mentalmelalui penalaran dan rasionalitas yang berakibat pada ucapan dan tindakan atau perbuatan5. Yakni kesadaran masyarakat bangsa Indonesia akan pentingnya perannyadalam struktur sistemik sebuah negara. Tidak cukup hanya dengan jiwa nasionalisme karena perlu tindakan untuk itu mewujudkan negara yang ideal untuk kedaulatan dan pemajuan bangsa Indonesia. Sehingga diperlukan sosok pemimpin sejati yang bisa membawa perubahan bangsa Indonesia menjadi lebih baik.

Itu pula yang mungkin mendorong para aktivis dan pemuda-pemudi berjiwa nasionalisme untuk berani bersuara dan berontak untuk mewujudkannya. Mendorong terjadinya revolusi orde baru 1998 dan mewujudkan pembenahan negara secara menyeluruh -tapi faktanya belum terjadi revolusi total. Tentunya itu pula yang memotivasi seorang Budiman Sudjatmiko untuk mengukir namanya dalam platform revolusi 1996-1999. Namun apa perjuangan untuk perbaikan bangsa sudah benar-benar terwujud? Kita pun tentu masih merasakan ketimpangan-ketimpangan tentunya, tetapi tidak tahu bagaimana cara melampiaskan rasa perjuangan itu atau menemukan objek yang tepat untukmewujudkannya.

Sekilas Dibalik Reformasi 1998 dan Figur Budiman Sudjatmiko

Pertama kali aku mendengar nama Budiman Sudjatmiko ketika pertama kali berinteraksi langsung dengan kawan-kawan Serikat Tani Riau (STR) dan Serikat Tani Nasional (STN) serta partai yang menjadi pelindungnya di daerah Tebet, yakni Partai Rakyat Demokrat (PRD). Interaksi yang dimaksudkan yakni aku terobsesi tentang kasus sengketa lahan antara masyarakat di daerah Pulau Padang, kabupaten Kepulauan Meranti provinsi Riau dan perusahaan PT. Riau Pulp and Paper (RAPP) yang hingga saat ini tidak menunjukkan titik temu dan penyelesaian. Hal ini terjadi karena adanya ketidakjelasan dan penyimpangan kebijakan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia yang harusnya mampu menekan laju desakan ekonomi liberal dan pemanfaatan lahan gambut yang dapat mengancam ekologi dan kearifan lokal masyarakat disana khususnya. Sehingga jiwa dibawah alam sadar malah turut memperjuangkan aspirasi itu. Namun desakan politis dan akademis membuatku beranjak dulu dari urusan tersebut, karena masih belum tergapai pengetahuanku tentang hal itu secara politis dan juga harus menyelesaikan skripsi. Pada saat itulah namanya menjadi sumber inspirasi kawan-kawan STN yang bisa kita bilang frontal, tapi bukan frontal yang anarkis menurutku. Dan ternyata ia merupakan pioner PRD dan STN yang mewadahi serikat tani di Indonesia. Pahamnya pun cenderung lebih kepada Marhaenisme yang dibawa oleh Soekarno setahuku, bukan Komunis maupun Komunis-Sosialis. Karena banyak dari masyarakat yang tidak tahu secara menyeluruh tentang apa itu Komunis, Sosialis, Komunis-Sosialis dan Marhaenisme itu sendiri yang dibawa Ir. Soekarno. Sehingga ketakutan yang tersebar di bangsa ini lebih kepada “kulit permukaannya” dibandingkan apa dibalik kulitnya dan untuk apa tujuannya. Kita bisa salahkan era orde baru untuk itu, karena banyaknya fakta yang diputarbalikan masa kepimpinan Sang “Smiley General” selama 32 tahun.

Berdasarkan latar belakang dan sepak terjangnya Budiman Sudjatmiko memang berjalan di jalur yang sesuai dengan muara politis. Ia lahir di Cilacap 10 Maret 1970 dan mulai terlibat dalam gerakan mahasiswa sejak duduk di bangku kuliah di UGM jurusan ilmu politik. Berdasarkan hasil informasi yang ditelusuri, ia menjadi community organizer yang bertugas melakukan proses pemberdayaan politik, organisasi, dan ekonomi di kalangan petani dan buruh perkebunan di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur selama 4 tahun yang akhirnya menimbulkan gerakan dan barisan dari kalangan petani dan buruh tani se-Indonesia sampai harus melupakan studinya. Gerakan ini dianggap gerakan “bawah tanah” oleh pihak “kelas atas”, sehingga dikenal dengan gerakan “arus bawah” dan terkenal resisten dengan pemerintah dan militer 6.

Hal ini tentunya menjadi bukti bahwa masyarakat “arus bawah” tidak serta merta menyatukan diri dan membuat barisan tanpa alasan, jika bukan karena merasa adanya ketidakadilan dan ketidakpercayaan pemerintahan orde baru kala itu. Akhirnya gerakan itu pun melahirkan Partai Rakyat Demokratik atau disingkat PRD, dan menjadi wadah aspirasi bagi masyarakat petani yang dianggap kelas rendah oleh para elit politis. Padahal kita tahu bahwa petani dan pertanian merupakan peran vital untuk kedaulatan bangsa, layaknya pahlawan. Manusia tentunya pasti akan rela mengemis untuk secuil makanan agar bisa tetap hidup. Kurasa pergerakan ini wajar, karena program kesejahteraan yang dijanjikan Soeharto justru membawa pada inflasi ekonomi yang tinggi. Sehingga kemampuan petani pun untuk hidup lebih baik malah menjadi lebih sulit dan ingin berontak.Hal ini pantas untuk diapresiasi.

Konsekuensi perlawanan di masa orde baru masyarakat dan aktivis harus mempertaruhkan mental yang kuat dan siap mati -adanya petrus yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia- karena diancam, diculik bahkan hilang tanpa jejak keberadaannya. Sehingga arus pemberitaan harus tersembunyi, bahkan media pun harus “tiarap” untuk mengabarkan berita di masa rezim otoriter itu. Aku mendapatkan cerita ini dari pamanku di desa Kuok, kabupaten Kampar provinsi Riau yang sempat menjadi aktivis mahasiswa ITB tahun 1980-an. Padahal ia cerdas dan mampu merantau ke ITB bandung, namun konsekuensi menjadi aktivis frontal membuatnya harus lari dan pulang menjadi penggembala ternak di kampung. Bahkan harus melupakan nama lahirnya untuk merahasiakan keberadaan hingga saat ini karena ketakutan yang terus menghantui sehingga tidak ingin menunjukkan eksistensi.

Perjalanan gerakan Budiman Sudjatmiko sudah banyak tergaung bahkan ditulis oleh para aktivis yang mengidolakan kepribadiannya. Terutama ketika ia mendeklarasikan berdirinya PRD itu yang kemudian menjadi awal kelahiran STN. Partai yang diklaim berhaluan sosialis-komunis dari barat ini menurutku berorientasi Marhaen yang dicetuskan Soekarno karena faktor kultural bangsa ini. Perbedaannya menurutku terletak pada subjektifitas paham tersebut, yang cenderung petani dan buruh tani yang berorientasi lahan untuk hidup. Karena kita ketahui bahwa Indonesia dikenal sebagai negara agraris, namun petani dan buruh taninya malah tidak sejahtera bahkan tidak memiliki lahan untuk digarap. Padahal Ir. Soekarno melalui Parlemen telah membahasnya dalam undang-undang pokok agraria tahun 1960 tentang kedaulatan tanah dan lahan yang dapat dipergunakan atas adat dan kepentingan nasional, hanya warga negara yang berhak atas tanah Indonesia (pasal 9 UUPA 1960) dan tidak adanya perebutan paksa (pasal 10 UUPA 1960) 7. Seperti yang kita lihat masa orde baru hingga saat ini, tidak jarang terjadinya konflik lahan dengan perusahaan berorientasi lahan dan penggunaannya dan mengindikasikan adanya ketimpangan kebijakan dan administrasi pemerintah yang perlu ditinjau dan di revisi tentang orientasi penggunaan tanah, bumi, air, dan udaranya –walau undang-undang tentang lahan adat telah diterbitkan tahun 2013 lalu. Lagi-lagi menurutku, wajar saja mereka berontak dari ketidakbenaran keadaan masa itu dan merupakan hal yang sudah seharusnya. Karena hampir separuh penduduk Indonesia adalah petani dan buruh tani, tentunya kita butuh pangan dari mereka para “pahlawan pangan”.

Manifesto PRD yang keluar tanggal 22 Juli tahun 1996 secara tajam menyerang dan mengkritik kondisi politik dan kondisi sosial-ekonomi pemerintahan otorisasi “The Smiley General”. Perlawanan ini terjadi berasaskan kesenjangan sosial akibat kebijakan berorientasi pertumbuhan terpusat, dengan melupakan pemerataan dan distribusi yang adil. Hal ini menunjukkan pemberontakan secara politis pun dimulai dan memancing golongan lain untuk bertindak. Karena secara aspiratif golongan kepartaian hanya terdiri 3 partai saja yang diakui kala itu. Partai di Indonesia kala itu yakni PPP, Golkar dan PDI yang menurutku sengaja dikemas Soeharto sebagai aspirasi saja, namun tidak dapat menggoyangkan posisinya. Tetapi PDI, tadinya merupakan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dirilis Ir. Soekarno ingin direbut kembali oleh putri Ir. Soekarno, Megawati Soekarno Putri melalui Budiman Sudjatmiko, ketua pertama dan salah satu pendeklarasi PRD. Perebutan paksa kantor Dewan Pengurus Pusat PDI di jalan Imam Bonjol Jakarta, 27 Juli 1996 dengan dimotori Budiman Sudjatmiko membuatnya menjadi orang yang dapat membahayakan posisi kekuasaan presiden Soeharto dan diklaim menggunakan metode PKI terhadap kekuasaan negara. Tapi apakah sejarah membuktikan PKI memang menekankan cara-cara anarkisme? Itupun masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab sampai saat ini. Ia sekaligus dijadikan tahanan politik bersama Xanana Gusmao, yang kemudian menjadi presiden Timor-Timor8. Kemudian baru diberikan amnesti setelah 3,5 tahun di masa presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 1999. Hal ini memperlihatkan bahwa jalur perjuangan Budiman Sudjatmiko telah mengantarkannya ke ranah peperangan politik yang lebih hebat dan siap untuk melangkah lebih jauh lagi.

Jalur akademis yang sesuai dengan jalan hidupnya membuatnya berhasrat untuk melanjutkan studi S2 untuk program studi Hubungan Internasional di Cambridge University, dan lulus dengan tesis yang membahas politik luar negeri China. Akhirnya ia dipinang PDI-P (PDI Perjuangan) yang dikenal sebagai partai oposisi dan dipimpin Megawati Soekarno Putri setelah lulus kuliah. Berdasarkan pernyataan di surat kabar, ia menerima pinangan karena faktor ideologis dan PRD sudah kurang sesuai dengan pemikirannya. Padahal jikalau diamati secar objektif, untuk meningkatkan karir politik tentunya harus punya modal besar dan sokongan yang besar. Masuk akal memang jika ia ingin mengayuh karir politis menggunakan perahu sebesar PDI-P.

Saat ini Budiman Sudjatmiko telah duduk di kursi parlemen DPR RI Komisi II, Bidang Pemerintahan Dalam Negeri, Otonomi Daerah, Aparatur Negara, Dan Agraria. Secara sepak terjang pergerakan, ideologi, dan jalur politiknya yang telah dipaparkan diatas, Budiman Sudjatmiko telah menata jalan hidup yang sesuai dengan perannya. Hanya saja pengaruh dan perjuangannya menurutku belumlah maksimal karena masih banyaknya ketimpangan-ketimpangan kebijakan, ekonomi, dan dinamika kepentingan politik dari masing-masing golongan dan partai. Kita lihat saja masih banyaknya konflik, demonstrasi, dan anarkisme golongan tertentu yang malah ada yang membawa simbol-simbol  agama.

Dapat kusimpulkan bahwa Budiman Sudjatmiko merupakan salah seorang pemimpin yang juga diidolakan rakyat, hanya saja “pasarnya” yang berbeda dengan pemimpin-pemimpin terkenal kebanyakan dan paham ideologis yang ia bawa masa orde baru. Berdasarkan informasi yang ada, secara pergerakan organisatoris Budiman Sudjatmiko juga telah banyak mendirikan wadah-wadah aspirasi dan organisasi di ranah nasional hingga internasional. Seperti Ormas Nasional Demokrat, Steering Committee dari Social-Democracy Network in Asia (Jaringan Sosial-Demokrasi Asia), Parade Nusantara dan Gema (Gerakan Masyarakat) Gotong Royong. Ia merupakan Pembina Utama di Dewan Pimpinan Nasional organisasi Parade Nusantara, yaitu organisasi yang menghimpun para kepala desa dan seluruh perangkat desa di seluruh Indonesia, serta menjadi Ketua Umum Gema (Gerakan Masyarakat) Gotong Royong, sebuah ormas yang dikatakan fokus dalam hal sosial ekonomi serta pendidikan.

Hal ini menurutku juga menjadi tolak ukur kekonsistensian ideologinya yang berhaluan kekiri-kirian (Marxis dan Marhaenisme) menurut orang banyak tetapi malah bisa diterima sebagian besar orang jika mengerti tujuan dan dampaknya. Yakni kesejahteraan bersama, terutama untuk masyarakat pedesaan yang cenderung diklaim oleh kebanyakan orang tertinggal secara sosial-ekonomi, pendidikan dan infrastruktur. Penilaian ini dapat dilihat juga dari upayanya untuk meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa yang menjadi janji politiknya. UU Desa, Bank Desa dan Badan Pengelola Desa juga telah berjalan sistemnya. Sistem ini telah berjalan dengan baik setahuku, ketika diceritakan oleh Bapak Erik sahabatku yang merupakan Sekretaris Desa Cibatok 1 Bogor, Jawa Barat dan desanya menjadi desa terbaik ketiga se Jawa Barat tahun 2010 menurut pengakuannya. Tapi entahlah di desa-desa lain yang juga banyak polemik politisnya karena keter-leluasa-an demokrasi, dapat dilihat di pemberitaan oleh media-media dan observasi saya sendiri banyaknya kasus-kasus korupsi yang bahkan telah melibatkan kepala-kepala desa.

Refleksi Indonesia Saat Ini dan Urgensitas Kepemimpinan Bangsa Indonesia

Bangsa Indonesia saat ini telah menunjukkan demokrasi yang sangat terbuka menurutku, setiap orang bebas bersuara dan berpihak sampai-sampai kebablasan, dan bisa jadi tidak tahu untuk apa dan kepada siapa bersuara serta berpihak di negara ini. Demokrasi memang bagus dan malah baik, karena hak-hak dan kebebasan atau keterluasaan individu diberikan sebebas-bebasnya dengan mengandalkan modal. Wujud modal yang kita ketahui tentunya seperti “materi” (uang, rumah dan investasi kebendaan lainnya) atau modal sosial (social capital). Keberpihakan saat ini menurutku cenderung lebih kepada pragmatisme kesejahteraan yang berorientasi wujud materi dan status sosial seperti kedudukan, uang, sarana-prasarana seperti mobil, rumah mewah, dan lainnya. Padahal kita tahu masyarakat Indonesia cenderung merupakan masyarakat agamis dan rohaniah yang tentunya mengajarkan moral, kesederhanaan serta kemanusiaan. Namun saat ini malah menunjukkan indikasi degradasi moral dan rendahnya “kemanusiaan” serta lunturnya kesadaran pentingnya menjaga interaksi antara manusia dengan alam.

Hal ini kita bisa nilai dari banyaknya pemberitaan tentang penggunaan tenaga kerja murah oleh para pemodal atau perusahaan dengan upah yang bahkan tidak cukup untuk hidup setiap bulannya, perdagangan manusia, penggunaan tenaga kerja dibawah umur, hingga eksploitasi lahan dan tambang yang bahkan tidak sesuai kelayakan ekologis, sosialdan tata ruang wilayah. Pengejaran pragmatisme ini tentunya mengantarkan pada keinginan untuk menguasai aset-aset tanah air dengan satuan “nilai ekonomis” berasaskan “efisiensi” sesuai apa yang dipaparkan teori ekonomi modern. Penguasaan aset-aset ini dan keter-leluasa-an yang diberikan negara meliputi bumi, air, tanah, sarana, bahkan hingga udara sekalipun -telah diketahui protokol Kyoto 2005 yang mengantarkan pada Carbon Trading secara global. Secara logis tentunya hanya sebagian orang yang mampu menguasai aset-aset tersebut dengan standar modal materi yang dimiliki dan nilai ekonomis standar seperti uang. Tidak hanya pemodal dari luar negeri yang sudah mulai menguasai aset-aset ini sejak awal orde baru 32 tahun lalu bahkan mempengaruhi masyarakat secara menyeluruh , sehingga banyak yang menyebutkan hegemoni ini merupakan penerapan “neoliberalisme” (kebebasan gaya baru).

Padahal kita tahu penguasaan aset-aset tersebut telah diatur oleh UUPA 1960 dan kebijakan lainnya untuk kesejahteraan dan kedaulatan rakyat. Namun jika kesejahteraan hanya dinikmati hanya sebagian golongan atau kelas masyarakat sementara yang lain semakin tertindas seperti petani dan lainnya, apa sudah dikatakan bangsa ini sejahtera dan berdaulat? Tentunya kita sepakat bahwa bangsa ini belum sejahtera dan berdaulat. Bahkan sebagian besar dari kita berharap banyak pekerjaan (“objektivitas hidup 8”) dari para pemodal atau perusahaan ketimbang mengolah bumi, air, dan tanah yang ada karena faktor pola pikir, pendidikan, dan tren “hedonisme” serta semakin sempitnya lahan untuk digarap 9. Hal ini juga berlaku untuk para sarjana-sarjana yang mengklaim dirinya cendekia pengetahuan, termasuk saya sendiri yang bersekolah di Institusi Pertanian. Wadah yang dicetuskan oleh Ir. Soekarno untuk mengembangkan pertanian dan kedaulatan pangan, lebih berorientasi teknologi dan pemodernan industrial ketimbang kelayakannya untuk diimplementasi kepada para petani dan peternak. Status sosial akademis lebih berharga ketimbang kewajiban untuk mengabdi kepada petani secara langsung. Oleh karena itu merupakan suatu kewajaran dan keharusan jika rakyat berontak yang cenderung dimotori para aktivis notabennya mahasiswa dan akademikus kala itu, tahun 1998. Lalu apa yang dibutuhkan oleh rakyat saat ini untuk kembali menyatukan dan mengembalikan rasa kebangsaan, nasionalisme, pada kondisi carut marutnya negeri ini?

Lagi-lagi harapan kita pastilah pemimpinnya. Pemimpinlah yang menjadi indikator utama karakter suatu bangsa. Pemimpin yang konsisten untuk menjamin kedaulatan masyarakatnya yang satu bangsa dan satu bahasa, yakni Indonesia. Karena dengan liberalisasi dan “keran-keran” pasar bebas yang meng-orientasi-kan penguasaan aset-aset lintas negara berasaskan nilai ekonomis dan efisiensi, mengindikasikan bahwa negara yang demokratis sudah tidak menjadi batasan dan kesulitan besar lagi untuk para pemodal besar dalam mengembangkan “kapitalnya". Pun keresahan masyarakat dan ketidakpercayaan dengan pemerintah negara serta pentingnya peran kebijakan di sebuah negara membawa pada ketidakpedulian. Berarti apa kita sudah tidak perlu negara sebagai representatif suara dan kedaulatan rakyat sehingga baiknya dibubarkan saja? Atau bangsa Indonesia hanya sebagai identitas saja? Lalu apa gunanya Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan Undang-undang Dasar 1945?

Jika kita masih menganggap hal tersebut penting dan representatif akan hak-hak rakyat, tentunya merupakan keharusan untuk mengupayakan “penyadaran diri” dari keterbuaian situasi yang perlahan justru makin mempersempit fungsi negara. Lalu untuk mewujudkannya dibutuhkan pemimpin yang tegas, mempunyai jiwa ke-Indonesia-an yang kuat, dan berani bertindak baik untuk rakyat pribumi maupun pihak asing untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia tanpa peduli (reconsider) status sosial yang ada. Karena status sosial lah yang membentuk lapisan kelas-kelas dan membuat ke-ego-an dan adanya penguasaan aset-aset bangsa di sana-sini sehingga makin memperlebar deviasi kesejahteraan dan kesenjangan ekonomi dari setiap individu di negeri Indonesia. Karena suatu permusuhan timbul karena adanya “kelas-kelas” dalam struktur masyarakat, seperti yang dipaparkan Marx yang dikutip oleh Gunawan Wiradi (2009) dalam bukunya Metodologi Studi Agraria :

“Sepanjang berjuta keluarga hidup dalam kondisi memisahkan cara hidup, kepentingan-kepentingan mereka dengan kelas-kelas lain dan menempatkan diri mereka berseberangan secara bermusuhan maka mereka merupakan suatu “kelas”. Sejauh hanya ada hubungan lokaldi antara petani kecil itu, dan identitias kepentingan mereka tidak membentuk komunitas, tidak membentuk ikatan nasional, dan tidak ada organissasi politik diantara mereka, maka mereka bukanlah suatu kelas 10.”

Pantaskah Budiman Sudjatmiko Menjadi Presiden Republik Indonesia Berikutnya?

Dari latar belakang yang telah diceritakan dan pemberitaan tentangnya serta sepak terjang Budiman Sudjatmiko, jalur politisnya mengindikasikan untuk memperjuangkan hak-hak rakyat terutama untuk pengelolaan lahan, tanah dan bumi yang ada di Indonesia. Atau bisa kita sebut dengan istilah “kedaulatan agraria” bagi masyarakat khususnya masyarakat pedesaan yang diklaim jauh dari kesejahteraan dibandingkan dengan pola hidup manusia perkotaan. Karena pangan notabennya berasal dari produksi hasil bumi berorientasi lahan dan investasi pangan yang cenderung ada di daerah pedesaan. Jadi sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan pedesaan bukan saja dari sudut pandang materi, tapi penjaminan hidup yang berorientasi lahan menurutku. Jika lahan-lahan sudah diberikan kepada pemodal perkotaan maupun pihak asing para “kelas petani” (peasantry) untuk mengupayakan lahan sebagai objektivitas hidup akan terhambat. Jadi sangat bijaksana menurutku meletakkan nilai dasar perjuangan untuk mensejahterakan dan mengupayakan kedaulatan petani dalam mengolah lahan untuk produksi pangan.

Namun kekuatan pengaruh Budiman Sudjatmiko secara politis untuk kebijakan-kebijakan agraria saat ini hanya di ranah parlementer atau DPR, sehingga perlu menjajaki posisi struktural di kenegaraan yang lebih tinggi seperti menteri bahkan presiden. Karena kebijakan tertinggi berada pada tangan presiden secara simbolik. Selain itu dibutuhkan pengkajian yang tepat untuk permasalahan agraria di Indonesia secara model dan sistemnya. Menurut Gunawan Wiradi (2009) model agraria dibedakan atas tiga model, yakni: a. collective reform yaknimodel sosialis,b.redistrbutif reform model kapitalis/liberal (yang berkuasa atau besarlah yang efisien) dan c. redistributif reform model neo-populis (yang kecillah yang efisien) 11.Namun bangsa Indonesia sampai saat ini masih perlu membenahi diri persoalan tersebut karena kebijakan agraria yang akan menentukan kedaulatan bangsa Indonesia, bukan teknologi, ekonomi dan tren yang ada saat ini.

Jika melihat urgensitas isu tersebut dan permasalahannya, maka sangat pantas jika Budiman Sudjatmiko untuk diproyeksikan sebagai the next presiden of Indonesia dan sesuai dengan sepak terjangnya. Ketegasan ideologi dan dampak dari tindakannya yang nyata seperti yang telah dibahas pada lembar sebelumnya menunjukkan kepantasannya sebagai wujud pemimpin bangsa Indonesia. Karena cita-cita ideologi kedaulatan rakyat atas tanah, negara, moral, dan bangsa yang dikemas dalam bentuk Pancasila, UUD 1945, dan Bhinkea Tunggal Ika bergantung atas kedaulatan atas teritori atau wilayahnya sertakeleluasaan di wilayah tersebut untuk objektivitas hidup. Tanah dan air yang didefenisikan memang kita bangsa Indonesia dan negara diatasnya yang harusnya memiliki, bukan milik dan akuisisi pemodal maupun pihak asing. Jika tidak dimiliki bangsa ini maka kedaulatan teritori negara Indonesia pun bisa dipertanyakan kejelasannya. Jika Budiman terus mengedepankan cita-cita tersebut menurutku tentulah pasti akan didukung oleh bangsa Indonesia. Namun apabila ketika sudah menduduki posisi tertinggi bangsa ini dan ternyata tidak sesuai dengan cita-cita ideologis bangsa Indonesia dan jalur hidup yang dilewatinya, apa tidak sama mengecewakannya dengan pemimpin- pemimpin lain? Tentunya akan meningkatkan taraf kekecewaan masyarakat dan bangsa ini. Sehingga jika begitu bisa saja berdampak pada ketidakpedulian perlu atau tidaknya peran negara pada bangsa ini.

Referensi

1Achmad Dhofir Zuhry. 2013. Filsafat Timur :Sebuah pergulatan menuju manusia paripurna. Madani. Malang

2 Ibid.,

3 Cudworth, Erika (2007). The Modern State: Theories and Ideologies. Edinburgh University Press.

4http://kbbi.web.id/republik

5Block, N. “On a Confusion about the Function of Consciousness.” In Behavioral and Brain Sciences 18: 227-47, 1995.

6http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/286-direktori/2545--tumbal-orde-baru

7Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang : Peraturan Dasar Pokok -Pokok Agraria

8 Engels, Frederick. 2007. Tentang DasKapital Karl Marx. Alih Bahasa E. Cahyono. Gey’s Reinassence

9 Aji, Gutomo B. 2005. Tanah Untuk Penggarap : Pengalaman Serikat Tani Pasundan Menggarap Lahan-Lahan Perkebunana dan Kehutanan. Pustaka Latin. Bogor.

10 Wiradi, Gunawan. 2009. Metodologi Studi Agraria. Sajogjo Institute. Bogor.

11Wiradi, Gunawan. 2009. Reforma Agraria. Dari desa ke Agenda Bangsa. Sajogjo Institute. Bogor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun