Rencana Pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan diaspora bond sudah bergulir sejak tahun 2019. Namun Kementerian Keuangan kini harus menunda dari yang semula bulan Agustus menjadi November 2020 akibat pandemi virus korona yang sedang terjadi saat ini, sembari melakukan pengujian tingkat permintaan terhadap jenis bond ini. Diaspora bond ini akan menjadi yang pertama dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai salah satu alternatif di tengah adanya kebutuhan pembiayaan yang semakin terbatas di pasar keuangan.
Klasifikasi diaspora yang dapat berinvestasi sesuai Peraturan President Nomor 76 tahun 2017 tentang fasilitas bagi masyarakat Indonesia di luar negeri dan Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 7 tahun 2017 tentang penerbitan dan pencabutan kartu masyarakat Indonesia di luar negeri yakni: Warna Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar negeri atua diaspora Warga Negara Asing (WNA) yang merupakan mantan WNI, anak dari mantan WNI, atau WNA yang memiliki orang tua WNI. Beberapa tujuan yang hendak dicapai dari diaspora bond ini yakni untuk memperluas cakupan kumpulan dana, meningkatkan potensi kepemilikan ritel di tingkat domestik, serta mengurangi ketergantungan terhadap dana asing.
Capaian yang beragam di negara lain
Sejumlah negara telah lebih dulu mengeluarkan diaspora bond dengan hasil capaian yang berbeda-beda. Seperti Nigeria yang pada tahun 2017 mengumpulkan total 300 juta dollar sebagai pembiayaan investasi di sektor infrastruktur. Dengan total permintaan 130%, pemerintah Nigeria berencana untuk melakukan penawaran seri II di masa mendatang. Beberapa faktor yang membuat target dapat dicapai yakni adanya pilihan investasi yang beragam sehingga dapat menarik berbagai kalangan diaspora untuk berinvestasi, khususnya investor individu yang berskala kecil. Namun yang juga penting yakni pilihan diaspora bond sebagai penawaran untuk ikut memberikan dampak yang positif terhadap pembangunan negara dalam proyek-proyek infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.
Sebaliknya, Nepal yang jauh lebih dulu mengeluarkan “Foreign Employment Bond” yang menyasar pekerja asal Nepal di Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Malaysia, hanya berhasil mengumpulkan 1 milyar Rupee dari target 7 milyar rupee. Padahal, denominasi yang ditawarkan sudah cukup kecil, di 5000 Rupee (atau setara 65 dollar AS). Salah satu penyebabnya yakni kurangnya publikasi dan periode penjualan yang terlalu singkat. Selain itu, migran Nepal yang bekerja di India tidak diperbolehkan untuk ikut berinvestasi. Padahal India merupakan negara tujuan terbesar bagi migran asal Nepal. Selain itu, suku bunga yang ditawarkan juga bond ini jauh lebih rendah dari suku bunga simpanan perbankan komersial di negara Nepal sendiri.
Bagaimana dengan Indonesia?
Saat ini Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan dan Kementerian Luar Negeri sedang gencar melakukan sosialisasi dan survei terkait diaspora bond ini, seperti yang dilakukan di Keduataan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo pada 4 Juni 2020 yang lalu. Maupun Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong yang membagikan tautan survei bagi kelompok diaspora Indonesia terkait rencana dikeluarkannya diaspora bond tersebut. Hal ini diharapkan dapat memberikan formulasi instrumen bond yang baik sehingga target yang ada dapat dijalankan tepat waktu dan mencapai raihan dana maupun jumlah investor retail.
Namun, masih terdapat isu penting yang menjadi perhatian guna memaksimalkan diaspora bond. Pemerintah Indonesia harus membuat basis data terpusat yang mumpuni terkait kondisi diaspora Indonesia, seperti data jumlah diaspora Indonesia dan data persebarannya. Estimasi jumlah diaspora Indonesia sendiri saat ini berkisar 4,7 hingga 8 juta orang, bukan sebuah angka yang pasti. Bahkan, basis data yang lebih terperinci dapat juga dilakukan seperti, persebaran tingkat pendidikan, pendapatan, jenis pekerjaan dan sebagainya. Hal ini penting mengingat tidak lengkapnya basis data tersebut, membuat capaian target diaspora bond memiliki potensi tidak tercapai.
Data dari Bank Indonesia misalnya, hanya menyebutkan jumlah total pekerja migran Indonesia dan negara host country. Hal ini diperparah dengan masih banyaknya WNI yang tidak melakukan lapor diri ke KBRI/KJRI. Hal ini dapat terlihat jelas saat proses pemilihan umum yang lalu dimana banyak WNI yang tidak lapor diri sehingga tidak dapat menggunakan hak suara nya di KBRI/KJRI tempat tinggalnya.
Lebih lanjut, ketiadaan basis data terpusat ini membuat Pemerintah akan kesulitan dalam mengukur tingkat capaian diaspora bond. Data survei yang saat ini sedang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri sudah tentu tidak dapat dijadikan data acuan yang mumpuni.
Bila berkaca pada data yang ada, proporsi pekerjaan migran Indonesia yang bekerja pada sektor informal masih cukup besar, seperti yang berada di negara Malaysia, Hong Kong maupun beberapa negara di kawasan Timur Tengah. Namun, bila berkaca pada pengalaman negara Nepal dalam mengeluarkan “Foreign Employment Bond” yang hanya berfokus pada pekerja migran yang bekerja di negara-negara tertentu saja, Pemerintah Indonesia seyogyanya dapat memperluas akses diaspora bond sehingga seluruh diaspora Indonesia dapat menjangkau dengan mudah.
Namun, tidak juga salah bila pemerintah Indonesia hanya berfokus pada kelompok diaspora Indonesia di negara-negara yang relatif lebih maju seperti Australia, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Hal ini mengingat tingkat suku bunga jangka panjang di negara-negara tersebut jauh lebih rendah bila dibandingkan di Indonesia. Hal ini membuat pilihan instrumen investasi di Indonesia masih menjadi pilihan yang menarik. Berdasarkan data dari Bank Sentral Eropa misalnya, Belanda yang memiliki suku bunga jangka panjang di (-0.22), Denmark di (-0.21), Jerman di (-0.45), maupun Perancis di 0.06 (data April 2020). Selain itu, mayoritas diaspora yang tinggal di negara-negara tersebut memiliki latar belakang pendidikan, pekerjaan, maupun tingkat literasi investasi yang berbeda bila dibandingkan dengan yang berada di kawasan Asia maupun Timur Tengah. Sehingga diharapkan nominal investasi yang dapat dicapai lebih tinggi.
Meskipun di negara Nigeria dan Nepal, isu “patriotisme” tidak muncul dalam pengukuran capaian diaspora bond, ini membuka peluang bagi Pemerintah Indonesia untuk mengukur sejauh mana tingkat attachment dan “patriotisme” kelompok diaspora Indonesia. Narasi memajukan tanah air, perasaan sentiment membangun negeri dapat digunakan sebagai tagline dalam penerbitan diaspora bond ini. Bukankah masyarakat Indonesia lebih suka pada hal-hal yang berbau kekeluargaan dan perasaan sentimentil?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H