Mohon tunggu...
Humaniora

Merindukan Kemanuasiaan (Refleksi Kemanusiaan NTT)

14 September 2015   22:37 Diperbarui: 14 September 2015   23:11 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berada jauh dari kampung halaman, selalu menumbuhkan kerinduan teramat dalam. Rindu untuk kembali berkumpul bersama keluarga, kerabat, kenalan, guna berbagi kisah cerita, atau untuk sekedar minum kopi sambil menghangatkan tubuh dekat perapian. Sungguh sebuah momen yang selalu menjadi kerinduan. 

Walau telah sedikit banyak mengecap kemudahan ibukota, tetap saja tak dapat menggantikan atau menghapus kerinduan pada kampung halaman tercinta nan jauh di sana, di Flores, Nusa Tenggara Timur. Perlu merogoh kocek yang tidak sedikit untuk bisa sampai kesana. Apalagi bila memilih menggunakan jasa pesawat terbang, lumayan juga biayanya. Masalah klasik bangsa Indonesia, mahalnya biaya transportasi ke daerah-daerah luar pulau jawa.

Bagi kami para perantau, kerinduan yang sama selalu membangkitkan kepedulian pada kampung halaman. Rasa rindu menggerakkan saya, untuk terus memantau perkembangan melalui berbagai media. Membaca di media online (surat kabar lokal dan nasional), menonton Televisi, berbagai diskusi di media sosial dsb, di tengah kesibukan kuliah. Semua demi memuaskan dahaga informasi tentang kampung halaman.

Dalam rentang waktu beberapa bulan terakhir, media terus memberitakan masalah perdagangan manusia di Nusa Tenggara Timur. Menggambarkan kenyataan pahit perdagangan manusia yang terorganisir, rapi, didukung oknum-oknum dari pihak berwajib. Lengkaplah keberadaan jaringan mafia perdagangan manusia di NTT, begitu rapi hingga terlambat pula disadari. Begitu banyak wanita dan anak NTT yang kemudian diperdagangkan, menjadi buruh tanpa upah, pekerja seks, pembantu rumah tangga dsb. Sebagian besar terpengaruh oleh iming-iming gaji besar dan pekerjaan di berbagai kota besar dalam dan luar negeri dari para calo. Entah mulai berlangsung sejak kapan, yang pasti jaringan ini telah ada dalam waktu yang cukup lama.

Kemudian berbagai pihak saling melempar kesalahan, mencari kambing hitam, dan siapa yang harus disalahkan. Orang-orang saling lempar tanggung jawab. Semua tidak ingin disalahkan atas nasib yang telah menimpa entah berapa banyak wanita dan anak-anak NTT. Dalam situasi ini, saya mencoba untuk keluar dari keramaian saling oper bola panas yang sedang terjadi, mencoba untuk tidak berpihak pada pendapat siapapun dan sedikit berefleksi, merenung dan melihat dari sudut pandang saya sebagai perantau, yang juga meninggalkan NTT karena alasan tertentu. Maka kemudian saya merangkai refleksi kemanusiaan singkat ini dengan tiga pertanyaan mendasar; (1) apa yang sebenarnya terjadi di Nusa Tenggara Timur? ; (2) bagaimana melihatnya dari sudut pandang kemanusiaan dan penegakkan Hak Asasi Manusia? ; (3) apa solusi yang perlu diupayakan?.

Apa yang sebenarnya terjadi di NTT?

Salah satu pemicu paling besar bagi masalah ini adalah kemiskinan. Ada beberapa faktor katalis yang mendorong pertumbuhan kemiskinan di Indonesia dan di NTT khususnya, termasuk rendahnya kesadaran untuk bekerja dan terampil mengolah usaha, kurangnya lapangan pekerjaan bagi yang berpendidikan dan tak berpendidikan. Pembangunan yang tidak merata, penuh diskriminasi. Kemiskinan bertumbuh pesat dan memaksa masyarakat kecil untuk mencari pekerjaan ke daerah atau negara yang surplus uang, tanpa melihat risiko.

David Wyatt, peneliti dari Australia melihat adanya penyebab struktural seperti pendidikan yang rendah. Kebanyakan anak Indonesia tidak berpendidikan, karena subsidi pendidikan minim untuk anak-anak miskin. Belum lagi kualitas infrastruktur dan fasilitas penunjang proses pendidikan yang tidak merata pembagian dan ketersediaannya. Saat anak-anak di daerah tertentu menikmati fasilitas pendidikan yang lengkap, anak-anak lain di daerah tertentu masih berkutat soal masalah ketersediaan fasilitas pendidikan dan tenaga pengajar, jangan dulu bicara kualitas dalam situasi ini. Hal ini pula yang menjadi alasan saya merantau ke ibukota, mengejar pendidikan yang berkualitas demi masa depan yang lebih baik. Kesenjangan sosial antara orang kaya dan miskin melebar dan rendahnya komitmen penegak hukum serta negara untuk mengatasi persoalan sosial turut menjadi pemicu.

Faktor-faktor di atas akan sangat mudah dimanfaatkan oleh agen-agen trafficking. Prinsip mendulang keuntungan dalam kemelaratan sosial menyebabkan persoalan menjadi lebih rumit. Ada kecurigaan terselubung bahwa agen-agen bisa saja berkolaborasi dengan aparat hukum dan kepolisian. Kisah menyuap aparat hukum memang bukan hal baru di Indonesia. Kalau dalam persoalan trafficking mereka bermain di dalamnya, komplikasi persoalan digandakan.

Modus perdagangan manusia yang terjadi juga di NTT dapat dipetakan secara sosiologis sebagai berikut. Para agen melakukan perekrutan dengan berbagai cara dan propaganda. Kemudian, mereka mencari agen di tempat lain sebagai penerima. Kedua, dalam situasi tertentu mereka bahkan menggunakan kekerasan dan intimidasi, penipuan dan penculikan sampai pada penjeratan hutang dan penggunaan kekuasaan. Tentunya, modus yang tak baru adalah mengeksploitasi.

Modus operandi trafficking yang demikian sangat mungkin terjadi di daerah-daerah yang miskin seperti di NTT dan kawasan Timur Indonesia. Kemiskinan menjadi berkah bagi agen berduit. Mereka mengail di air keruh. Hal itu membuat eksploitasi manusia terutama eksploitasi seks, pelacuran, perekrutan Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang sering mengalami kekerasan di kota-kota besar menjadi kian jamak. Ada wanita-wanita yang menjadi korban di tempat-tempat disko dan bar, ada kisah pengantin pesanan sampai penjualan bayi. Dalam situasi kemelaratan, manusia menggadaikan organ tubuhnya (sale on all body part). Kenyataan yang saya gambarkan cukup untuk menjawab pertannyaan kedua, karena jelas bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun