Paling malas kalau ngajar di ruang 305. Lihat saja digit pertamanya, lantai 3. Itupun tak segedung dengan ruanganku. Ruanganku di gedung sayap utara lantai satu, jadwal ngajarnya di sayap selatan lantai 3. Dari ruanganku mesti menyebarang jalan Balapan, jalan yang membelah kampus kami menjadi dua dua sayap, utara dan selatan. Dari ruanganku perlu sekitar 300 meter untuk sampai di anak tangga pertama menuju ruang 305. Dari anak tangga pertama aku harus mendaki hingga akhir anak tangga ke 36, untuk bisa menggapai daun pintu ruang 305. Gak ada jalan lain? Gak ada. Hanya itu satu-satunya jalan menuju ruang 305. Seminggu sekali aku mengajar di ruang itu.
Capek? Jelas!!!. Apalagi raga ini harus menopang berat badan ukuran tiga digit. Seringkali capek kehausan menaiki anak tangga tak akan tertolong lantaran di lantai 3 tak ada kantin yang jualan es jeruk. Seringkali aku berkhayal untuk memasang tali prosot persis seperti permainan flying fox. Jadi, kalau ngajar di ruang 305 telah usai, mahasiswa dan dosen tinggal meluncur ke bawah pake tali itu. Tapi itu tak mungkin. Kenapa tidak? Ya karena itu gedung kampus bukan arena outbound.
Seringkali jengkel kalau ada yang ketinggalan tak terbawa dari ruanganku. Entah itu spidol, botol minum, dan yang paling menjengkelkan bila yang tertinggal buku teks Auditing karangan Prof Arens yang setebal 862 halaman atau buku Auditing edisi ISA setebal 943 halaman. Bayangkan saja, setelah sampai puncak 305, aku harus turun, lalu berjalan 300 meter ke gedung sayap utara, lalu balik lagi 300 meter ke sayap selatan sambil menenteng buku tebal itu, lalu naik 36 anak tangga, dan........tak ada yang jualan es jeruk sesampainya di atas. Huh….
Seperti biasa kuliah berakhir 5 menit menjelang adzan magrib. Biasanya jam segitu gelap mulai merambat pelan. Benderang siang perlahan mulai berubah warna jadi abu-abu. Para mahasiswa biasanya segera beranjak keluar ruangan untuk menuju parkiran motor sementara sebagian menuju masjid kampus untuk bersiap magriban. Sedangkan aku, menjadi orang terakhir keluar dari ruang kelas lantaran aku masih harus mematikan laptopku, mencabut port viewer LCD, dan memasukkan laptop dan buku pegangan kuliah ke dalam tas.
Entah kenapa petugas pramubakti yang biasanya menunggu di luar kelas, telah tiga minggu tak kelihatan batang hidungnya. Yang aku jumpai justru mahasiswi berambut sebahu yang sedang berdiri jarak delapan meter dari pintu 305. Bersender di pagar selasar, mahasiswi itu selalu melempar senyum padaku. Sungguh, senyumnya manis. Terlihat menjadi amat manis lantaran ditopang rambut hitam kelam sebahu. Itu pertama kali aku bertemu dengannya.
Di minggu kedua aku bertemu dengannya, pernah terlintas pertanyaan di benakku. Kalau mahasiswi itu sedang menunggu seseorang, siapa yang sedang ditunggu? Semua mahasiswa di kelasku telah keluar ruangan. Kalau dia ingin bertemu dengan aku, mengapa dua kali tatapan muka dia hanya melempar senyum saja. Aku tak pernah menyapanya karena aku juga buru-buru untuk segera ke masjid demi sholat magrib. Aku tak begitu memperhatikan detail mahasiswi itu selainnya senyumnya yang manis dan rambut hitam legam sebahu.
Ini minggu ketiga, yang berarti untuk ketiga kalinya aku berjumpa si mahasiswi. Kuliah telah usai, aku pun telah memberesi segala perangkat komputerku. Seperti biasa aku menjadi orang terakhir keluar dari ruang kelas. Seperti yang kuduga, mahasiswi itu telah berdiri jarak delapan meter dari pintu 305. Setelah dua minggu berlalu hanya saling lempar senyum, kali ini aku coba untuk sekadar membuka obrolan pada mahasiswi itu.
“Mbaknya nunggu teman?” tanyaku setengah teriak dari jarak delapan meter.
Dahiku mengerut sedikit dengan senyum tertahan lantaran mahasiswi itu tak membalas tanyaku. Hanya senyum manis padaku.
“Mbaknya mau ketemu saya?” tanyaku lagi
Tanyaku tetap tak berbalas kata kecuali hanya senyum manis si mahasiswi.
Ya sudahlah, mungkin dia tak mendengar tanyaku lantaran jarak delapan meter atau mungkin dia tak berkenan menjawab, begitu pikirku. Karena aku harus segera ke masjid untuk maghriban, maka kutinggalkan mahasiswi itu dengan teriring kata “Hati-hati ya mbak”.
Aku pun mulai menuruni anak tangga ke 36, ke 35, ke 34, 33, 32, 31, 30, 29, 28, 27, 26...... Ups....aduuuuuh…..kunci motorku ketinggalan di meja dosen di kelas. Terpaksa aku harus balik lagi ke ruang 305. Aku pun mengambilnya lantas mulai lagi menuruni satu per satu anak tangga.
Sambil menuruni anak tangga, perasaanku merasa ada yang aneh. Aku tak menjumpai mahasiswi itu baik ketika aku masuk 305 maupun keluar setelah mengambil kunci motor. Aku juga tak berpapasan dengan siapapun ketika naik dan turun anak tangga. Sementara anak tangga itu jalan satu-satu menuju ruang 305. Kalau mahasiswi itu turun, lantas dia lewat mana? Mungkin masuk ruang lain? Tak mungkin, hanya ada dua ruang di lantai 3, yang satu terkunci dan satunya lagi ruang kuliahku. Kemanakah dia? dan kenapa dia hanya tersenyum.
Jantungku berdetak cepat seiring langkah cepatku menuruni anak tangga sementara sayup terdengar adzan magrib mulai berkumandang. Langkahku semakin cepat hingga tak terasa telah berdiri di depan masjid kampus. Sebelum mengambil air wudhu, aku tulis sebaris SMS untuk Mas Rudi, kepala operasional perkuliahan:
“Mas mulai minggu depan, kuliahku di 305 tolong dipindah ke gedung utara 105. Ok”.
Dengan jari gemetaran aku tekan tombol Kirim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H