Akhir-akhir ini banyak testimony tentang Anies Baswedan setelah keikutsertaannya di Konvensi Capres Partai Demokrat. Sebut saja testimony dari Pandji di http://pandji.com/anies-baswedan/, Edward Suhadi di http://blog.edwardsuhadi.com/2013/09/16/saya-pasti-kecewa-dengan-anies-baswedan/, dan terakhir dari Andi Arsana di http://madeandi.com/2013/09/21/ketika-aniesbaswedan-turun-tangan/.
Ketiga tulisan tersebut mengupas secara tuntas mengenai Anies Baswedan dari sudut pandang dan gaya menulis masing-masing. Sejauh yang saya pahami, ketiganya mendapatkan informasi tentang Anies Baswedan dari media massa, media elektronik maupun media sosial. Bagi saya pribadi, kesaksian tentang bagaimana sikap Anies Baswedan sebagai seorang pemimpin tergambar secara jelas di dalam tulisan Ferizal Ramli di http://ferizalramli.wordpress.com/2009/01/02/dr-anies-rasyid-baswedan-ms-rektor-universitas-paramadina-mulya/. Tulisan tersebut mengupas kesaksian seorang sahabat Anies Baswedan yang bersama-sama terlibat dalam bentrok dengan aparat pada demonstrasi di Kampus UGM tahun 1994.
Kesaksian seorang sahabat yang saya tuliskan di bawah ini saya kutip dari tulisan Ferizal Ramli di blog pribadinya.
Dari kesaksian seorang sahabat. Sebut saja sahabat kita itu: Faraz Ramadhan. Dia mantan pimpinan senat mahasiswa UGM dari kelompok hijau (bukan hijau militer lho, kalo pinjem kata Clifford Geertz; kelompok
hijau santri.
Cerita Faraz jujur kepada saya tentang Anies Rasyid Baswedan…
Tahun 1994 kalau tidak salah, mahasiswa Yogya demo di bunderan. Menentang pembredelan Detik, Tempo dan satu lagi saya lupa namanya. Mahasiswa menolak kesewenangan pembredelan itu. Mereka demo menentang!
Saat itu 1994, Wak Dhe (Uwak Gede) dari pada Haji dari pada Muhammad dari pada Soeharto sedang represif-2 nya. Setiap demo langsung dihadapi oleh lars senapan militer.
Siang terik. Jam menunjukkan pukul 13.30. Mahasiswa yang sudah capek berdemo sejak pagi, bersiap ingin membubarkan diri.
Tiba-tiba komandan militer kasih perintah melalui pengeras suara kepada mahasiswa:
“Dalam 30 menit lagi anda harus bubar!”
“Jika tidak, maka kami yang akan membubarkan dengan paksa!!!”
Mendapat perintah represif tsb, justru membangkitkan semangat perlawanan mahasiswa. Bukannya bubar, massa mahasiswa bersatu merapatkan barisan. Mereka bertekad tidak mau bubar. Siap melawan.
Papan batu hijau muda bertuliskan “Selamat Datang di Kampus Universitas Gadjah Mada”, terletak tepat ditengah „Bunderan” dijadikan D’ Alamo, benteng perlawanan massa mahasiswa. Sementara batalyon pasukan militer berjejer rapi, profesional jali, di depan RS Panti Rapih. Hanya berjarak 100 meter persis di depan D’ Alamo -nya mahasiswa.
Pukul 13.45. Suasana semakin heroik. Keberanian menggelora di dada. Idialisme tinggi membubung menembus lapisan awan tertinggi. Seakan seluruh mahasiswa siap menyerahkan selembar nyawa di badan.
Tapi benarkah demikian? Pukul 13.55, berarti 5 menit sebelum deadline, Faraz dengan cemas melihat kebelakang. Kaget dia tidak percaya dengan penglihatannya!