Mohon tunggu...
Yanto Aulia
Yanto Aulia Mohon Tunggu... -

Saya bukan pakar. Bukan juga pengamat. Saya hanya melihat apa yang terlintas saja. Lalu saya coba menuliskannya. Follow saya di @yanto_aulia

Selanjutnya

Tutup

Money

Dari Subsidi BBM ke Subsidi Pajak

22 September 2013   14:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:33 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah sepertinya tidak konsisten dengan berbagai kebijakannya. Beberapa waktu lalu pemerintah mengurangi subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM di pasaran. Pemerintah juga memiliki kebijakan pengendalian BBM dalam rangka konservasi energi nasional (http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/5368-pengendalian-konsumsi-bbm-untuk-ketahanan-energi-nasional.html). Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan kebijakan Low Green Cost Car (LGCC) atau yang kita kenal dengan mobil murah.

Ya, tidak konsisten. Pemerintah memang tidak konsisten. Kebijakan LGCC justru akan meningkatkan volume mobil di jalan raya. Akibatnya tentu peningkatan konsumsi BBM. Konsumsi BBM yang semakin meningkat setiap tahun akan menambah beban subsidi BBM. Perlu dicatat bahwa nilai subsidi 2012 mencapai Rp 346,4 triliun atau 34,33 persen dari belanja pemerintah pusat. Tak kurang dari 61,17 persen dari total subsidi dialokasikan untuk BBM (Rp 211,9 triliun) dan 27,30 persen untuk listrik (Rp 94,6 triliun). Subsidi pangan, pupuk, benih, kredit program, dan lain-lain hanya Rp 39,9 triliun atau 11,53 persen dari total subsidi (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/06/18/0746006/Hitunghitungan.Subsidi.BBM.).

Subsidi BBM seperti buah simalakama bagi pemerintah. Jika tidak dihapuskan, itu artinya pemerintah akan terus menanggung beban subsidi. Padahal pihak yang lebih banyak menikmati subsidi BBM adalah kelompok orang-orang yang mampu. Padahal nilai subsidi BBM sebesar itu mestinya dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur atau program-program pemerintah lainnya. Namun bila dihapuskan pemerintah akan menambah beban masyarakat yang kurang mampu. Sebab akibat dari dihapusnya subsidi BBM tentu saja inflasi ekonomi. Masyarakat yang memiliki daya beli rendah akan semakin terhimpit secara ekonomi.

Pemerintah seperti tidak punya daya kreasi menghadapi masalah subsidi BBM ini. Dalam tingkat wacana dan rencana banyak opsi yang ditawarkan. Salah satunya adalah melakukan pembatasan distribusi BBM. Namun skema ini ditolak karena mekanisme pelaksanaannya sangat rawan penyimpangan. Akhirnya solusi yang diambil pemerintah tidak jauh beda dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya. Menaikkan harga BBM dan memberikan kompensasi jangka pendek kepada masyarakat miskin. Meskipun dari pengalaman-pengalaman sebelumnya skema ini juga rawan penyimpangan.

Melalui tulisan ini saya mengusulkan solusi alternatif mengatasi persoalan subsidi BBM. Yaitu dengan melakukan konversi subsisi BBM dengan subsidi pajak.

Subsidi Pajak

Yang saya maksudkan dengan subsidi pajak di sini adalah pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak dengan kualifikasi tertentu yang jumlah totalnya setara dengan subsidi BBM yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dengan subsidi pajak ini, wajib pajak yang dianggap mampu berkewajiban mengembalikan besarnya subdisi yang diterimanya dan mensubsidi wajib pajak lain yang dianggap tidak mampu. Mekanisme pengembalian subsidi ini dilakukan melalui pajak. Dengan mekanisme ini pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM dan tetap menjaga inflasi pada skala yang dapat diterima.

Pajak yang dapat digunakan sebagai mekanisme pengganti subsidi BBM misalnya pajak kendaraan bermotor.  Agar lebih jelas, saya akan menggunakan ilustrasi. Sebagai misal, pemilik kendaraan roda empat dapat dianggap sebagai wajib pajak yang mampu. Sehingga kendaraan roda empat berkewajiban mensubsidi. Sebaliknya pemilik kendaraan roda dua dianggap sebagai wajib pajak yang tidak mampu, sehingga perlu disubsidi. Berdasarkan hasil penelitian Lemigas, konsumsi sepeda motor, rata-rata sebesar 0,75 liter per hari, sedangkan mobil mengkonsumsi 3 liter per hari. Karena jumlah sepeda motor lebih banyak dari mobil, maka 1 mobil harus mensubsidi lebih dari 1 sepeda motor. Anggap saja 4 sepeda motor. Besarnya subsidi BBM yang ditanggung oleh pemerintah sekarang ini kurang lebih Rp. 3.500,- per liter. Karena sebuah mobil mensubsidi 4 sepeda motor, maka ia berkewajiban mengembalikan subsidi sebesar 6 liter per hari. Atau jika dinominalkan menjadi sebesar Rp. 22.000,- per hari. Dalam satu tahun besarnya subsidi yang harus dikembalikan oleh sebuah mobil adalah sekitar 8 juta. Angka ini yang kemudian menjadi pajak kendaraan bermotor yang harus dibayarkan oleh wajib pajak pemilik mobil.

Sekilas angka tersebut memang besar. Namun untuk mobil seharga lebih dari 100 juta, angka tersebut kurang dari 8%. Secara psikologis menurut saya angka tersebut masih dapat diterima. Nilai pajak tersebut memang akan menjadi masalah untuk mobil-mobil seharga kurang dari 50 juta. Yaitu mobil-mobil yang berusia lebih dari 20 tahun. Dengan besaran pajak yang cukup tinggi, mobil-mobil seharga kurang dari 50 juta akan ditinggalkan. Sisi positifnya justru kebijakan subsidi pajak ini dapat mengurangi penggunaan mobil-mobil tua.

Selain bisa diterima, kebijakan subsidi pajak ini juga mempunyai kekuatan memaksa. Orang-orang kaya yang memiliki mobil tidak punya alasan untuk tidak membayar pajak. Pelaksanaan dan pengawasan pembayaran pajak ini juga lebih mudah dilakukan, relative aman dari penyimpangan, kecuali dikorupsi oleh pegawai pajak. BBM tidak bisa lagi dijadikan alat transaksi politik terutama menjelang pemilihan umum. Masyarakat yang tidak mampu juga tidak dibebani dengan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan BBM. Dan yang lebih penting lagi adalah kebijakan subsidi pajak ini dapat berfungsi sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan dari yang kaya ke yang miskin.

Namun kebijakan ini tidak akan berguna jika tidak disertai dengan peningkatan prasarana transportasi darat dan peningkatan pelayanan transportasi publik. Keduanya mesti dilaksanakan beriringan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun