Selama tujuh tahun tinggal di Jogja, ada satu pengalaman yang tak bisa kulupakan. Bersinggungan dengan copet. Setidaknya tiga kali aku menyaksikan pencopetan. Sialnya, dari ketiga kejadian tersebut semua kawanan copet tahu kalau aku mengawasi mereka. Namun ada satu kejadian yang mana aku tidak hanya mengawasi tapi juga mengelabui.
Waktu itu sore hari. Aku sedang dalam perjalanan pulang dari tempat wawancara kerja di daerah Jogja bagian selatan. Aku sendiri sudah lupa jalur bis berapa yang aku tumpangi. Yang jelas itu bis Kopata. Aku duduk di baris kedua sebelah kiri di belakang pintu depan. Di depanku duduk seorang lelaki separuh baya. Aku tidak mengenali wajahnya. Karena yang terlihat dari belakang hanya rambutnya.
Ketika bis kota sampai di daerah Sagan sebelum sampai di Bunderan UGM, terlihat banyak orang bersiap turun. Salah satunya seorang gadis berjilbab dengan tas tersampir di pundaknya. Dia berdiri dekat pintu sambil berpegangan pada tiang di dekat pintu. Karena banyak yang hendak turun, banyak kursi yang kemudian menjadi kosong. Suasana pun menjadi lebih riuh. Agak berdesakan di antara penumpang.
Penumpang yang di depanku juga turut berdiri meninggalkan kursinya. Kukira dia juga mau turun. Ternyata tidak. Dia hanya pindah ke kursi di sebelah kanan pintu depan yang baru saja ditinggalkan seorang penumpang yang lain. Bersamaan dengan pindahnya penumpang di depanku, seorang penumpang yang lain menggantikannya. Juga seorang lelaki yang kira-kira sebaya dengan penumpang yang baru saja pindah. Namun penumpang yang satu ini membawa sebuah tas kain di tangannya. Tidak ada yang aneh dengan pergantian penumpang di bis kota. Hingga kutahu apa yang terjadi kemudian.
Ketika bis kota bersiap berhenti, penumpang semakin berdesakan. Entah karena ingin turun lebih dulu atau hanya sekedar ingin senggol-senggolan, aku tidak tahu. Di tengah keriuhan penumpang yang hendak turun, penumpang di depanku menyorongkan kakinya ke depan hingga mengenai si gadis berjilbab. Ketika si gadis berjilbab mengalihkan perhatian pada penumpang di depanku, sebuah tangan mencoba meraih resleting tas si gadis berjilbab. Rupanya itu tangan penumpang yang baru saja pindah dari kursi di depanku.
Tidak semua usaha membuahkan hasil. Bahkan usaha yang jahat sekalipun. Si gadis berjilbab rupanya merasakan ada tangan yang menarik-narik tasnya. Entah apa sebabnya si gadis berjilbab ini tidak membalikkan wajah mencari pemilik tangan yang menarik tasnya. Sambil tangan kanan menggapai pegangan yang baru, tangan kiri si gadis berjilbab ini menahan tarikan tangan di resleting tasnya. Agak cukup lama tarik-menarik antara dua tangan di tas si gadis berjilbab. Hingga aku menyadari telah terjadi sebuah kejahatan. Pencopetan.
Aku sendiri tidak tahu apakah hanya aku yang melihat pencopetan tersebut, atau ada juga penumpang lain yang menyaksikannya. Yang jelas tak satupun yang bertindak mencegahnya. Tidak juga aku.
Akhirnya bis berhenti pada jarak yang cukup lumayan di selatan Bunderan. Penumpang yang telah bersiap semuanya turun. Tak terkecuali si gadis berjilbab. Dan tarik-menarik resleting tas berakhir dengan kemenangan si gadis berjilbab. Aku tidak sempat memperhatikan rona wajah si pencopet. Mungkin merah membara, mungkin juga merah padam. Yang jelas tidak kuning atau biru.
Suasana kembali seperti semula. Kedua copet di depanku kembali ke tempat duduk masing-masing. Tanpa sadar tiba-tiba aku mengikuti pandangan salah satu copet yang seolah memberi tanda dengan seseorang di kuris paling belakang. Ternyata ada satu lagi kawan mereka. Duduk di belakang. Kawanan copet itu ada 3 orang seperti yang pernah kusaksikan sebelumnya.
Tiba-tiba perasaanku berubah. Aku menduga para copet itu tidak akan berhenti. Mungkin mereka akan beraksi lagi di pemberhentian selanjutnya. Melihat gerak-gerik mereka aku merasa kalau aku akan jadi target operasi mereka. Apalagi ketika kuperhatikan penumpang yang lain. Hanya aku yang pantas jadi target operasi.
Dugaanku bukannya tanpa alasan. Sebagaimana orang yang datang ke sebuah wawancara pekerjaan, aku juga berpenampilan rapi dan sopan. Meski aku tahu sebagus apapun pakaian yang kukenakan tidak akan merubah wajahku yang pas-pasan menjadi tampan. Â Aku yakin para copet itu tidak tahu kalau aku hanyalah seorang pelamar pekerjaan. Bukan seorang karyawan apalagi bos sebuah perusahaan. Tapi aku tidak mungkin memberitahu mereka. Selain aku tak kenal mereka juga kupikir tidak ada gunanya. Kurang kerjaan.
Aku tidak mau kejadian serupa terulang. Tarik-menarik dompet dengan copet. Bukannya aku tidak berani. Bukan pula aku pengecut. Aku hanya tidak tega. Aku benar-benar tidak tega melihat para copet itu gagal untuk kedua kalinya. Meskipun tidak sama, aku tak tega menganggapnya seperti keledai. Terjebak di lubang yang sama dua kali. Bayangkan saja aku yang telah mengamati pencopetan sebelumnya tentu akan lebih waspada. Kecil kemungkinan aku akan terlena. Aku kasihan kalau para pencopet itu gagal lagi mendapatkan buruannya. Atau sebaliknya. Andaikan copet itu menjadi lebih cerdik hingga mampu mendapatkan dompetku. Kasihan juga. Karena mereka hanya akan dapat KTP, kartu mahasiswa dan mungkin beberapa lembar kartu nama. Mereka tak perlu mencopet untuk barang-barang itu.
Akhirnya aku putuskan untuk menghindar. Menghindari lebih baik daripada berkelahi. Setidaknya untuk urusan dengan copet.
Satu-satunya cara untuk menghindar adalah bergerak cepat. Bertindak ketika para copet itu terlena. Saat mereka tidak bersiap untuk beraksi. Karena itu mereka tidak boleh melihat aku bersiap turun. Tanpa tahu persiapanku mereka tidak akan bersiap mencopet.
Bis sudah mendekati bunderan di depan rumah sakit panti rapih. Kulihat tak ada satu penumpang pun yang bersiap turun. Biasanya aku turun setelah bis melewati bunderan. Kali ini tidak. Segera kuangkat tanganku. Kuketukkan jariku di kaca bis dengan irama yang cepat dan menghentak. Sopir bis pun tersentak. Dengan cekatan diinjaknya pedal rem dan diarahkannya bis menepi. Bis masih belum berhenti benar. Dengan gerak cepat aku berdiri dan sedikit berlari melompat turun dari bis. Untung saja aku terbiasa turun dari bis yang belum berhenti benar. Sehingga aku tidak jatuh karenanya.
Aku sudah di trotoar ketika bis kota melaju meninggalkanku. Kulihat tiga wajah menempel di kaca belakang bis kota. Tiga wajah copet. Kulihat tatapan mata mereka. Nampak rasa kecewa dari kerut wajahnya. Yang lebih jelas nampak terkejut pada sorot matanya. Biarlah.
Tak perlu aku kasihan pada mereka. Aku memandang mereka dengan senyum kemenangan. Itulah saat dimana aku merasa layak menyandang gelar sarjana.
Lembah Pegunungan Rocky,
Akhir September 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H