Memastikan negara hadir dalam hati semua warga terutama anak membutuhkan komitmen tinggi setulus hati. Setiap tahun kita memperingati Hari Anak Nasional pada 23 Juli. Tentu Anda sudah tahu alasan Pemerintah menetapkan tanggal tersebut. Ya. Tanggal penandatanganan Undang-Undang Kesejahteraan Anak dipilih dan ditetapkan oleh Presiden RI dalam Kepres No. 44 Tahun 1984 sebagai Hari Anak.
Bangsa Indonesia berkomitmen penuh untuk menegakkan Sistem Perlindungan Anak sejak pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak. Sampai saat ini sudah banyak Undang-Undang terkait Anak yang ditetapkan Pemerintah. Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak, meski belum masuk dalam indikator kinerja daerah, KLA telah mendorong lahirnya kebijakan terkait anak sampai ke desa. Anak menjadi urusan wajib pemerintah daerah nomor dua.
Malam ini saya membaca kabar tentang anak usia 11 tahun yang meninggal setelah dipaksa teman-teman sekolahnya menyetubuhi kucing dan direkam. Ada apa dengan anak-anak kita?
Negeri Tanpa Ayah
Hari Anak Nasional semestinya tidak berhenti dalam selebrasi. Indonesia menjadi negeri tanpa ayah urutan ketiga dunia pada 2021. Ketidakhadiran ayah dalam tumbuh kembang anak-anak secara fisik maupun nonfisik perlu menjadi perhatian keluarga Indonesia.
Rata-rata anak yang kehilangan pengasuhan dari ayah rentan menarik diri dari kehidupan sosial karena kurang percaya diri. Mereka juga mudah terlibat dalam tawuran, perundungan, kekerasan, bahkan tindak kriminal. Kesehatan mental anak-anak ini juga tidak tumbuh dengan wajar. Depresi usia anak pun tak terelakkan. Prestasi anak-anak yang mengalami fatherless ternyata sangat rendah.
Stereotype gender dalam tatanan hidup masyarakat tradisional kita diyakini menjadi salah satu penyebab utama hilangnya peran ayah dalam pengasuhan. Dalam upaya memperkuat keadilan gender di keluarga, Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan bersama multi pihak memulai Kampanye 20 Menit Yang Memukau pada Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2011.
Deputi Perlindungan Anak pada 2011 memulai kampanye ini dengan mengajak para ayah membacakan cerita kepada anak-anak mereka. Kampanye yang serupa dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada 2013 guna meningkatkan kelekatan hubungan ayah dan anak.
Ragam kegiatan 20 Menit yang Memukau menjadi langkah kedua dalam giat Gembira menjadi Keluarga Peduli Pendidikan sejak 2014. Perkumpulan bersama Sigap Kerlip Indonesia dan Gerakan Indonesia Pintar membawa praktik baik yang digagas oleh Komunitas Dongeng Dakocan di Lampung ini ke berbagai wilayah yang terdampak bencana.
Model dukungan psikososial ini dilaksanakan sahabat-sahabat KerLiP di Tanah Karo, Karang Asem, Palu, Donggala, Sigi, Parigi Muotong, Mamasa, Takalar, Maros, Bulukumba, Gowa, Pare pare, Konawe, Koala Timur, Kota Masohi, Mamuju, Majene, Bandung, Bekasi, Bogor, Sukabumi, Garut, Tasik, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Batang, Semarang, Solo, Pacitan, Ponorogo, Tuban, Surabaya, Malang, dan banyak kabupaten/kota pasca bencana di Indonesia sejak 2014.
Saat ini, Pemerintah Kabupaten Kampar mengintegrasikan 6 langkah Gembira Menjadi Keluarga Peduli Pendidikan dalam upaya Menuju SRA Beriman di satuan pendidikan menuju KLA Utama. Sahabat KerLiP menyediakan formulir Ikrar Gembira secara daring untuk menjangkau seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia melalui Kepala Dinas Pendidikan setempat.
Leaders Are Readers
Anak-anak yang sudah dapat membaca mengajak ayah untuk menyimak buku favorit yang mereka bacakan dengan nyaring selama 15 menit dan menulis pertanyaan 5W 1 H untuk mengikat makna bacaan dalam keseharian. Menjadikan anak sebagai pembaca diperkuat dalam kegiatan Gembira Menjadi Keluarga Peduli Pendidikan di rumah, kelas, sekolah, lingkungan tempat tinggal anak, dan media sosial.
Pengarang dan ilustrator buku cerita anak-anak terlaris versi New York Times mengatakan bahwa membacakan cerita dengan gaya mendongeng kepada anak dapat meningkatkan kemampuan literasi anak setara dengan belajar 10 hari di satuan pendidikan. Melalui giat Gembira menjadi Keluarga Peduli Pendidikan ini, kekosongan peran ayah dalam pengasuhan anak usia sekolah diisi dan diarahkan pada pembiasaan berbasis identitas. Anak-anak bukan hanya gemar membaca tapi menjadi pembaca. Orangtua terutama ayah hadir dengan penuh kasih mendengarkan dan menanggapi anak dengan sepenuh hati. Orangtua dan guru kelas juga bersikap proaktif menyediakan ruang bagi anak untuk berbagi cerita harian mengenai giat Gembira ini dalam Pertemuan Orangtua Murid dan Guru (POMG) Kelas.
Satuan pendidikan sebagai rumah kedua bagi anak menambahkan sesi recogniton and reward pada upacara bendera setiap senin. Orangtua/wali menyambut Jumat penuh berkah dengan menyediakan waktu bagi putra/putri tercinta berbagi praktik baik. Simphoni Keluarga pun bermuara pada kepentingan terbaik bagi anak. Orang dewasa di sekitar tempat tinggal anak menyediakan ruang untuk menyimak dan menanggapi gagasan anak dalam Obrolan Kesehatan, Keselamatan, Kesiapsiagaan Terpadu Ramah Anak atau Ork3stra
Anak-anak bukan hanya pemilik masa depan tapi juga pemimpin perubahan. Mereka membutuhkan sosok ayah yang siap mendengatkan dan menanggapi dengan sungguh-sungguh. Leaders are readers. Saya mengajak para ayah dan bunda memperingati Hari Anak Nasional besok dengan membangun kelekatan hubungan dengan calon-calon pemimpin masa depan mulai dengan menyediakan waktu 20 menit yang memukau.
Perkumpulan bersama Sigap Kerlip Indonesia dan Gerakan Indonesia Pintar menyediakan ruang bagi anak Indonesia untuk menjalin Simphoni Bangsa di Bulan Inovasi dan Strategi (BIS) Pendidikan Anak Merdeka, Bermutu, Tanpakekerasan (Panutan).
Mari lebarkan telinga dan hati kita untuk menegakkan Sistem Perlindungan Anak di Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI