Tumbuh bersama keluarga-keluarga peduli pendidikan di sebuah perkumpulan yang resmi berdiri pada 25 Desember 1999, menempatkan saya menjadi pegiat sekaligus praktisi pendidikan.
Lima tahun pertama kami bergiat mengembangkan konsep dan implementasi Pendidikan Anak Merdeka. Sebanyak 17 yayasan penyelenggara pendidikan menjadi mitra Perkumpulan yang dinamai KerLiP.
Pada tahun 2005 kami terhubung dengan Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) yang didirikan oleh guru-guru kritis. Kebanyakan pendiri FGII adalah guru-guru ASN. Dengan dukungan penuh dari para pegiat pendidikan di tingkat nasional, FGII terus tumbuh menjadi pelopor perubahan.
Setahun kemudian, kami mulai masuk dalam barisan untuk memperbaiki pendidikan dengan mengajukan Citizen Lawsuit Ujian Nasional.Â
Lahirnya Education Forum yang diperkuat pakar pendidikan, orangtua, dan anak pada 2007 berjalin kelindan dengan semangat perbaikan yang ingin kami perluas.
Praktik-praktik baik di sekolah-sekolah berprogram khas yang sudah mulai berjalan dengan mantap menjadi bahan kajian kami. Seluruh sekolah yang kami dirikan tak pernah kekurangan peserta didik bahkan di saat pandemi sekalipun.Â
One Million Safer School.and Hospital Campaign yang diprakarsai UNISDR yang kami jalankan sebagai anggota Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana (Planas PRB) membuka kesempatan untuk turut memperbaiki satuan pendidikan yang dikelola Pemerintah. Kampanye dan advokasi pemenuhan hak atas pendidikan dan perlindungan anak pun makin luas.
Upaya menuju Satuan Pendidikan Ramah Anak bersama Masyarakat, Orangtua, dan Sekolah (MeSRA Bertuah) menandai babak baru perjalanan saya bersama Perkumpulan KerLiP.Â
Dikotomi sekolah swasta dan negeri bagi pegiat pendidikan seperti kami mulai menipis. Kami mengajak orangtua/wali mempertimbangkan komitmen tertulis pendidik dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan mau menuju SRA untuk memilih sekolah/madrasah bagi ananda tercinta.
Perluasan gerakan ini sangat terbantu dengan masuknya SRA dalam indikator Kabupaten/Kota Layak Anak.
Masih terlalu dini bagi para fasilitator nasional SRA untuk menepuk dada, apalagi dengan bermunculannya kasus kekerasan, bullying, dan ekstremisme atas nama agama di satuan pendidikan.Â