Mohon tunggu...
Yanti Sriyulianti
Yanti Sriyulianti Mohon Tunggu... Relawan - Berbagilah Maka Kamu Abadi

Ibu dari 3 anak yang sudah beranjak dewasa, aktif menggiatkan kampanye dan advokasi Hak Atas Pendidikan dan Perlindungan Anak bersama Sigap Kerlip Indonesia, Gerakan Indonesia Pintar, Fasilitator Nasional Sekolah Ramah Anak, Kultur Metamorfosa, Sandi KerLiP Institute, Rumah KerLiP, dan Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan di Indonesia sejak 1999. Senang berjejaring di KPB, Planas PRB, Seknas SPAB, Sejajar, dan Semarak Indonesia Maju. Senang mengobrol dan menulis bersama perempuan tangguh di OPEreT.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Hapus Dikotomi Sekolah Swasta dan Negeri dengan Gotong Royong Menuju Satuan Pendidikan Ramah Anak

31 Mei 2022   10:20 Diperbarui: 3 Juni 2022   19:17 1324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru (DOK. TANOTO FOUNDATION/SASHA via KOMPAS.com)

Istilah sekolah swasta semestinya sudah berganti menjadi sekolah yang dikelola masyarakat.

Perjuangan panjang sejumlah warga negara Indonesia untuk menghapuskan kata "dapat" terkait alokasi pendidikan dari APBN dan APBD untuk sekolah yang diselenggarakan masyarakat sudah lama diluluskan oleh Mahkamah Konstitusi.

Namun demikian, penghargaan terhadap masyarakat penyelenggara pendidikan masih jauh dari harapan. 

Dalam dua dekade terakhir ini banyak sekali masyarakat penyelenggara sekolah, terutama Sekolah Luar Biasa termasuk di ibukota Jakarta mengeluhkan larangan guru berstatus ASN mengajar di sekolahnya.

Di lain pihak, upaya peningkatan mutu pendidikan yang dilaksanakan pemerintah terutama ke sekolah-sekolah negeri yang difavoritkan orangtua/wali, belum menunjukkan dampak yang nyata. Dalam hal literasi misalnya, bangsa kita berabad jaraknya dengan bangsa yang sangat maju dalam literasi.

Satu hal yang acapkali kita lupakan adalah keberagaman masyarakat penyelenggara sekolah. Sekolah-sekolah berprogram khas seperti sekolah yang bergabung di Asosiasi Sekolah Nasional Plus memiliki pangsa pasar tersendiri. Semahal apapun biaya yang ditetapkan oleh pihak penyelenggara, orangtua/wali yang mampu berlomba-lomba memasukkan putra-putri tercinta ke sana. Tidak sedikit sekolah di kelompok ini yang menerima pendaftaran bahkan sejak anak baru lahir.

Sekolah-sekolah yang menduduki puncak ini tidak banyak. Kebanyakan masyarakat penyelenggara pendidikan terutama madrasah bermodalkan kepedulian.

Bantuan Operasional Sekolah (BOS) menjadi andalan mereka dalam mengelola sekolah. Sayangnya, peminatnya pun tidak banyak. Bahkan banyak satuan pendidikan anak usia dini yang terpaksa ditutup karena kekurangan peserta didik. 

Bagaimana dengan mutu di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah? Kebijakan merdeka belajar dalam beragam episodenya diharapkan dapat mengungkit mutu pendidikan.

Sudah ribuan guru dan tenaga kependidikan yang bergegas menjadi penggeraknya. Istilah Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak makin mengemuka dengan terbukanya kesempatan menjadi Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak bagi seluruh satuan pendidikan dan tenaga pendidik termasuk di sekolah-sekolah mitra pelaksana Program Organisasi Penggerak (POP).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun