Mohon tunggu...
Yanti Sriyulianti
Yanti Sriyulianti Mohon Tunggu... Relawan - Berbagilah Maka Kamu Abadi

Ibu dari 3 anak yang sudah beranjak dewasa, aktif menggiatkan kampanye dan advokasi Hak Atas Pendidikan dan Perlindungan Anak bersama Sigap Kerlip Indonesia, Gerakan Indonesia Pintar, Fasilitator Nasional Sekolah Ramah Anak, Kultur Metamorfosa, Sandi KerLiP Institute, Rumah KerLiP, dan Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan di Indonesia sejak 1999. Senang berjejaring di KPB, Planas PRB, Seknas SPAB, Sejajar, dan Semarak Indonesia Maju. Senang mengobrol dan menulis bersama perempuan tangguh di OPEreT.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Edukasi Perubahan Perilaku Dulu Sebelum Memutuskan Pembelajaran Tatap Muka

8 Desember 2020   06:08 Diperbarui: 8 Desember 2020   07:08 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peta zonasi risiko dari satuan tugas penanganan Covid19 nasional tidak lagi menentukan pemberian izin pembelajaran tatap muka. 

Kalimat ini terpampang jelas pada materi presentasi Pembelajaran Tatap Muka di Masa Kebiasaan Baru yang disampaikan Mas Menteri, Nadiem Makarim pada peluncuran SKB 4 Menteri pada bulan November. 

Pendidikan dan anak adalah urusan wajib daerah dan Pemerintah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria agar urusan wajib ini dilaksanakan sesuai amanat konstitusi. 

"Ada yang tahu berapa usia anak menurut UU Perlindungan Anak?" Tak ada seorang pun dari 840 kepala sekolah dan guru yang mengikuti workshop menjawab dengan benar.  Mereka tidak pernah mengetahui apalagi membaca isi UU Perlindungan Anak. Lebih mengejutkan lagi, semua peserta tidak pernah membaca pengertian pendidikan menurut UU Sistem Pendidikan Nasional. Tak mengherankan jika pelaksanaan Belajar Dari Rumah (BDR) selama pandemi Covid19 menuai banyak masalah.  Orangtua  menuntut Pembelajaran Tatap Muka (PTM) segera dilaksanakan. Anak-anak stress. Guru pun merasa tertekan.

Minimnya Literasi Kewargaan Kita

"Kamu itu ngga perlu mencari dari teori manapun. Ambil saja pengertian yang menurutmu pas dengan nurani dari kebijakan yang sudah ada. Wakil rakyat kita dibayar mahal untuk itu. Para pakar berdebat panjang sebelum kebijakan itu terbit!"

Benar juga ya kata-kata almarhum Mas Tom, penulis buku Sekolah Gratis. Kata-kata sakti ini mengajarkanku tentang pentingnya literasi kewargaan secara sederhana. Kami bertemu pada Pelatihan Guru Kritis di Cikupa Tangerang 15 tahun yang lalu. Sampai saat ini aku masih sering terhenyak menyaksikan minimnya literasi kewargaan guru dan tenaga kependidikan kita.  

PR berat buat Mas Nadiem dan seluruh jajarannya. Apalagi nasionalisme dan integritas hanya menjadi elemen dalam salah satu domain profil Pelajar Pancasila, yakni berkebinekaan global.  

Ada untungnya juga sih minimnya literasi kewargaan ini.  SKB 4 menteri yang mengalami perubahan berkali-kali ini nyaris tak pernah sampai ke telinga peserta workshop. Apalagi surat edaran no 15 tahun 2020 tentang BDR. Semua peserta mengaku kesulitan memastikan anak-anak didik mencapai standar kompetensi minimal. 

Ibu dan Bapak guru, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya guna memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat, dan bangsa.  Nah, dalam konteks ini, apakah orangtua dapat menjadi pendidik utama dan pertama anak?

Perlu guru profesional untuk mencapai kompetensi akademik. Orangtua sudah lama dikebiri. Kata Prof Supriyono, orangtua menjadi disabilitas dalam menjalankan fungsinya mendidik anak sejak anak disekolahkan. Apalagi tekanan psikososial selama pandemi Covid19 ini makin meningkat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun