Mohon tunggu...
Yanti Sriyulianti
Yanti Sriyulianti Mohon Tunggu... Relawan - Berbagilah Maka Kamu Abadi

Ibu dari 3 anak yang sudah beranjak dewasa, aktif menggiatkan kampanye dan advokasi Hak Atas Pendidikan dan Perlindungan Anak bersama Sigap Kerlip Indonesia, Gerakan Indonesia Pintar, Fasilitator Nasional Sekolah Ramah Anak, Kultur Metamorfosa, Sandi KerLiP Institute, Rumah KerLiP, dan Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan di Indonesia sejak 1999. Senang berjejaring di KPB, Planas PRB, Seknas SPAB, Sejajar, dan Semarak Indonesia Maju. Senang mengobrol dan menulis bersama perempuan tangguh di OPEreT.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Ramah Anak di Antara Tarik Menarik Kepentingan

15 Juli 2020   17:36 Diperbarui: 15 Juli 2020   17:42 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Begin with the end of  mind. 

Kalimat yang saya kutip dari bukunya Stephen Covey selalu memantik pikiran saya untuk menyiapkan paparan mulai dari kata yang disebut terakhir dari judul tulisan.

Anak. 

Ya, anak. Meskipun Negara kita sudah meratifikasi KHA sejak 1990 melalui Keputusan Presiden. Namun ada beberapa pasal yang diparkir. Konsekuensinya terlihat peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi warga NKRI usia anak.

Misalnya UU Perlindungan anak No 23.Tahun 2002 dan UU Sisdiknas No 20 tahun 2003. Keduanya lahir sebelum pasal 28 dan 29 KHA yang menyatakan tujuan pendidikan bagi anak diratifikasi oleh bangsa kita. Di dalamnya memuat ketetapan terkait larangan penerapan corporal punishment. Hukuman yang merendahkan martabat anak. 

Saat Kempppa meminta Jamjam dan saya membantu menyusun Pedoman Pendidikan Ramah Anak pada 2010-2013, kami diingatkan oleh Pak Hamid dari YKAI tentang pentingnya mencantumkan rincian kedua pasal yang sudah diratifikasi NKRI pada 2005. 

Dan benar saja, bahkan setelah 42 ribu satuan pendidikan tercatat resmi MAU menuju Sekolah Ramah Anak (SRA), perbedaan persepsi tentang penerapan disiplin menuju SRA ternyata masih terlihat di antara fasilitator nasional SRA. Beruntung jelang akhir 2019, usulan saya untuk melembagakan Aspirasi diterima oleh Fasnas SRA yang diundanh Kemenpppa ke Bali.

Pokja Fasnas SRA ini sangat aktif dalam sosialisasi SRA selama masa pandemi COVID-19. Hal ini tak terlepas dari pembinaan Bu Elvi  dengan senyum manis, kebaikan hati, dan ketegasannya.

Pengalaman panjang pembina Aspirasi tersebut untuk mengawal perlindungan anak dari kekerasan sangat bermakna dalam perjalanan kampanye dan advokasi pemenuhan hak dan perlindungan anak di satuan pendidikan melalui SRA.

Pengertian

UU No 35 tahun 2014 Perubahan Atas UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Data anak dalam profil anak tahun 2018 hanya menampilkan prosentase untuk 4 kelompok umur. Kita masih memiliki pekerjaan rumah. Sampai saat ini kita belum memiliki data penyandang disabilitas pada 4 kelompok usia tersebut. 

Beberapa data yang disajikan Pemerintah menunjukkan bahwa penyandnag disabilitas usia anak yang tidak dapat menikmati hak atas pendidikan berksar di atas 80 persen. Update data penanganan pendidikan di masa COVID-19 menunjukkan bahwa sebanyak 69 juta peserta didik terpaksa Belajar dari Rumah pada masa pandemi ini.

Anak-anak yang merupakan peserta didik SLB seperti SBLN Balikpapan termasuk sangat beruntung karena memiliki Kepala Sekolah terlatih KHA sebagai Fasnas SRA. Murid-muridnya terlihat benar-benar gembira belajar dari rumah. 

Perubahan pengertian SRA akan membawa implikasi yang kompleks dalam pandangan saya. Saat kami menyusun pengertian SRA secara partisipatif, kami menghubungkannya dengan nomenklatur dari Kementerian/Lembaga yang hadir dengan penuh semangat. 

Satuan pendidikan aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran, pengawasan, dan mekanisme pengaduan terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak di pendidikan.  

Pengertian yang panjang ini mengandung komitmen dari masing-masing K/L untuk menjadikan SRA sebagai Rumah Bersama inovasi dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak di satuan pendidikan.

Jika pengertian terbaru yang direvisi Kemenpppa tanpa melibatkan para pihak  dikukuhkan dalam revisi Permen PPPA No 8 Tahun 2014 tentang Kebijakan SRA, maka akan mengulang kejadian dulu. Kami bersikukuh untuk mengusung istilah Pendidikan Ramah Anak dengan berbagai alasan. Kemenpppa pun mengundang Jamjam dan saya untuk menerima penjelasan alasan menggunakan istilah SRA sebagai salah satu indikator KLA

Ini dia pengertian baru SRA 

Satuan pendidikan formal, nonformal, dan informal yang mampu memberikan pemenuhan hak dan perlindungan khusus bagi anak termasuk mekanisme pengaduan untuk penanganan kasus di satuan pendidikan. 

Bagaimana menurut Anda, pembaca yang terhormat? Apakah saya harus membiarkan hal ini lagi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun