Begin with the end of  mind.Â
Kalimat yang saya kutip dari bukunya Stephen Covey selalu memantik pikiran saya untuk menyiapkan paparan mulai dari kata yang disebut terakhir dari judul tulisan.
Anak.Â
Ya, anak. Meskipun Negara kita sudah meratifikasi KHA sejak 1990 melalui Keputusan Presiden. Namun ada beberapa pasal yang diparkir. Konsekuensinya terlihat peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi warga NKRI usia anak.
Misalnya UU Perlindungan anak No 23.Tahun 2002 dan UU Sisdiknas No 20 tahun 2003. Keduanya lahir sebelum pasal 28 dan 29 KHA yang menyatakan tujuan pendidikan bagi anak diratifikasi oleh bangsa kita. Di dalamnya memuat ketetapan terkait larangan penerapan corporal punishment. Hukuman yang merendahkan martabat anak.Â
Saat Kempppa meminta Jamjam dan saya membantu menyusun Pedoman Pendidikan Ramah Anak pada 2010-2013, kami diingatkan oleh Pak Hamid dari YKAI tentang pentingnya mencantumkan rincian kedua pasal yang sudah diratifikasi NKRI pada 2005.Â
Dan benar saja, bahkan setelah 42 ribu satuan pendidikan tercatat resmi MAU menuju Sekolah Ramah Anak (SRA), perbedaan persepsi tentang penerapan disiplin menuju SRA ternyata masih terlihat di antara fasilitator nasional SRA. Beruntung jelang akhir 2019, usulan saya untuk melembagakan Aspirasi diterima oleh Fasnas SRA yang diundanh Kemenpppa ke Bali.
Pokja Fasnas SRA ini sangat aktif dalam sosialisasi SRA selama masa pandemi COVID-19. Hal ini tak terlepas dari pembinaan Bu Elvi  dengan senyum manis, kebaikan hati, dan ketegasannya.
Pengalaman panjang pembina Aspirasi tersebut untuk mengawal perlindungan anak dari kekerasan sangat bermakna dalam perjalanan kampanye dan advokasi pemenuhan hak dan perlindungan anak di satuan pendidikan melalui SRA.
Pengertian
UU No 35 tahun 2014 Perubahan Atas UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.