"Kita pelan-pelan aja ya, Yan, "jawab Retno.
Beberapa kali kami mampir ke pom bensin. Tak ada yang menjual premium.
Kami menyusuri jalan berhotmix mulus. Retno berhasil menaklukkan beberapa kelokan tajam dan agak menanjak. Saya pun tertidur. Teman saya ini terbiasa menyetir dengan kecepatan sangat rendah. Perjalanan mulai hujan dan berkabut.
Saya terbangun saat mobil mundur dan slip di area yamg gelap. Hati berdebar kencang, apalagi saat melihat sebelah kiri jalan ternyata cukup curam. Waktu pukul 2 dini hari.
Entah bagaimana tiba-tiba ada orangtua renta yang menghampiri dan menemani kami. "Sakedap deui oge aya nu dongkap ngabantos, "kata si aki yang mengaku selalu keliling shalat malam di tajug yang sepi.
Tiba-tiba kami berdua dikejutkan oleh cahaya terang dari ketinggian. Ada truk lewat. Dua orang perempuan cantik berkerudung turun menghampiri kami. Mereka bercerita tentang sopir  yang bersikeras pulang. Rupanya ada yang perlu bantuan. Begitu kata mereka. Keduanya mengaku heran karena tak ada yang berani melewati jalan berkelok menanjak lewat tengah malam. Biasanya jalan licin dan berkabut tebal setelah hujan.  Sopir truk belum berhasil menarik keluar mobil Retno.
Tak lama kemudian datang mobil elf.
"Eh Ibu, naha wayah kieu aya di jalan?" Begitu kata sopir elf sambil menyodorkan tangan menyalami kami. Mang Endi namanya. Ia  mengaku mengenalku saat menjasi penyintas banjir dan membantu tim Sigap KerLiP saat banjir di Baleendah tahun lalu. Mang Endi memacu mobil Retno dengan kecepatan tinggi.
Alhamdulillah mobil bisa keluar dan langsung melaju ke atas. Â Saya dan Retno menghampiri dengan nafas terengah-engah.
"Mangga Bu, lalaunan we, Â bensinna tos bade seep, masih seueur tanjakan, "kata Mang Endi. Ia turun dan menghampiri mobil elfnya. Kami tak sempat bersalaman lagi.
Tak jauh dari tempat kami berhenti ada pertamini. Saya  mengeluarkan uang selembar