Mohon tunggu...
Yanti Sriyulianti
Yanti Sriyulianti Mohon Tunggu... Relawan - Berbagilah Maka Kamu Abadi

Ibu dari 3 anak yang sudah beranjak dewasa, aktif menggiatkan kampanye dan advokasi Hak Atas Pendidikan dan Perlindungan Anak bersama Sigap Kerlip Indonesia, Gerakan Indonesia Pintar, Fasilitator Nasional Sekolah Ramah Anak, Kultur Metamorfosa, Sandi KerLiP Institute, Rumah KerLiP, dan Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan di Indonesia sejak 1999. Senang berjejaring di KPB, Planas PRB, Seknas SPAB, Sejajar, dan Semarak Indonesia Maju. Senang mengobrol dan menulis bersama perempuan tangguh di OPEreT.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita [Masih] Harus Berjuang Melawan Patriarki

9 Maret 2020   10:00 Diperbarui: 9 Maret 2020   10:03 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada sesuatu yang berbeda pada Hari Perempuan Internasional 2020. Ucapan terima kasih dari Menteri Bintang Puspayoga menghiasi hampir semua media sosial yang saya ikuti. Tak mengherankan sih, saya perempuan dan bekerja dengan para pegiat hak atas pendidikan dan perlindungan anak. Keduanya tak pernah bisa dilepaskan dari perempuan. Alih-alih menjadi beban ganda, saya mengajak para perempuan untuk berani dan percaya diri menyertakan para lelaki untuk belajar setara.Berbicara tentang kesetaraan dan tidak bias gender pasti terkait dengan konstruksi budaya. Peningkatan kekerasan terhadap perempuan misalnya, meski sampai lebih dari 700 persen tidak membuat para wakil rakyat kita untuk meloloskan RUU Penghapusan Kejahatan Seksual. Sementara itu RUU Ketahanan Keluarga yang mengindikasikan kuat pada budaya patriarki melenggang aman, bahkan diusung oleh perempuan ahli kesetaraan gender.

Patriaki memang ada, sangat solid dan mengakar dalam budaya kita. Pola tingkah laku budaya yang menindas perempuan secara sistematis, ini sudah berlangsung beribu-ribu tahun. Dalam kehidupan sehari-hari perempuan masih banyak yang mengalami diskriminasi. Bukan hanya di Indonesia. Semua tatanan masyarakat di zaman perbudakan, feodalisme Eropa maupun Asia, dan berbagai bentuk kapitalisme mendoktrin dan menyosialisasikan hal ini, hingga kaum lelaki dan perempuan menerima situasi ini sebagai normal bahkan alamiah.

Sebagai pola budaya yang terlembaga yang sekian lama kita tidak bisa meremehkan dengan mengira patriarki  "hanya" produk dari tatanan masyarakat tertentu. Tatanan masyarakat kita masih merawat, memelihara, mengubah bentuk dan memanfaatkan patriaki. Kita juga harus mengakui bahwa dalam kehidupan umat manusia,  kaum perempuan merasakan penderitaan yang lebih spesifik dan tidak selalu berbentuk ekonomis, tapi ke tubuhnya dan keberadaan dirinya. Mulai di dalam keluarga dimana lelaki menduduki posisi historis sebagai kepala keluarga, perempuan adalah 'warga kelas dua. Siapa warga kelas satu? Ya, lelaki.

Patriaki adalah musuh kemanusiaan.  Perjuangan membangun peradaban yang betul-betul manusiawi hanya mungkin tercapai jika rakyat bisa berusaha sendiri dan turut menentukan serta menikmati pembangunan tersebut dan bukan ditentukan oleh segolongan kecil yang menguasai produksi melalui anarkisme pasar.

Tantangan berat bagi perempuan, karena harus bangkit melawan sesuatu yang selama ini dirasakan sebagai sesuatu yang lumrah.

Selamat Hari Perempuan Internasional

Milik umum [dari instagram @bintang.puspayoga]
Milik umum [dari instagram @bintang.puspayoga]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun