Mohon tunggu...
Fatmah Afrianty Gobel
Fatmah Afrianty Gobel Mohon Tunggu... profesional -

Seorang pendidik, peneliti, pengajar dan sekaligus ibu dari tiga anak. Mahasiswa Program Pascasarjana Program Studi S3 Ilmu Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Staf Pengajar FKM Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar. Diluar kampus, tercatat sebagai Pengurus Nahdatul Ulama, Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Sul-Sel dan pendiri Center for Policy Analysis (CEPSIS) Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Provinsi Jatim Status KLB Penyakit Difteri

29 Oktober 2011   03:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:20 2536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

[caption id="attachment_140250" align="alignright" width="293" caption="Illustrasi "][/caption] Dunia kesehatan masyarakat Indonesia dikejutkan oleh adanya penyebaran penyakit difteri di Provinsi Jawa Timur (Jatim). Sebanyak 11 anak meninggal dunia dari 333 kasus difteri yang muncul selama tahun 2011. Karena itu, pemerintah Provinsi Jatim menetapkan KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit difteri sejak Jumat, 7 Oktober 2011 dan mulai berlaku 10 Oktober 2011. Penetapan status KLB dilakukan mengingat kasus ini telah tersebar di hampir seluruh kabupaten/kota se-Jawa Timur.

Kasus difteri telah menjangkiti 34 kota/kabupaten, dan hanya empat daerah yang belum terjangkit seperti Ngawi, Pacitan, Trenggalek, dan Magetan. Kasus difteri yang paling parah menyerang Surabaya, Bangkalan, dan Mojokerto. Penularan penyakit difteri sudah mulai meningkat sejak 2008. Pada tahun 2010, di wilayah Jatim memang tinggi angka kesakitan akibat penyakit difterisebanyak 304 kasus pada 32 daerah dan mengakibatkan 21 anak meninggal. Sedangkan tahun 2009, terdapat 140 kasus pada 24 daerah di Jatim dengan korban 8 orang meninggal dunia. Peristiwa KLB difteri yang terjadi di Jatim memberikan gambaran bahwa program imunisasi harus mendapat perhatian khusus.

Sejak Januari hingga Oktober 2011, korban penyakit difterimencapai 328 orang.Pemprov Jatim-pun melakukan vaksinasi massal yang dimulai serentak (10/10/2011) pada 11 kabupaten/kota yaitu Kota Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, Bangkalan, Sampang, Sumenep, Pamekasan, Blitar, Gresik, dan Banyuwangi dengan anggaran Rp10 miliar dari Rp13 miliar yang disediakan. Kesebelas daerah itu merupakan daerah dengan jumlah persebaran difteri terbesar. Dari 651 desa, 483 desa tanggungjawab Pemprov Jatim, 168 desa tanggungjawab kabupaten kota. Pemprov menambahkan dana sebanyak Rp10 miliar yang disalurkan melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim (beritajatim.com).

Kondisi di Kota Surabaya sendiri sebagai daerah dengan tingkat migrasi yang tinggi memiliki tingkat risiko penularan yang tinggi pula. Surabaya masuk dalam wilayah yang mendapat perhatian dalam kasus penularan penyakit difteri. Penelitian di lapangan, penularan penyakit ini lebih banyak ditemukan pada bayi dan anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi. Imunisasi menjadi langkah penting dalam mencegah penularan penyakit ini.

Temuan dilapangan, penyakit difteri yang menyerang anak-anak di Jatim baik yang ditemukan tanpa gejala maupun sampai fatal. Kondisi yang sangat fatal, penderita mengalami sesak nafas dan tidak bisa bernafas. Penderita yang ditemukan kebanyakan anak-anak, dari usia 4 tahun sampai 12 tahun. Hal ini disebabkan sistem kekebalan tubuh mereka belum terbentuk sempurna. Penderita juga bisa terserang dengan gejala mata berdarah dan menyerang kulit.Untuk menangani kasus difteri ini, Pemprov Jatim telah menyediakan sebanyak 40 ribu vaksin dan telah disalurkan kepada seluruh puskesmas dan posyandu yang ada di Jawa Timur.

Bakteri Penyakit

Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae yang dapat menyebabkan sakit tenggorokan, demam, kelenjar bengkak, dan lemas. Dalam tahap lanjut, difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, ginjal dan sistem saraf yang berakibat fatal dan berujung pada kematian. Penyakit difteri sangat rentan menyerang bayi mulai umur 2 bulan.

Bakteri C.diphtheriae dapat menyebar melalui tiga rute: (1) Bersin: Ketika orang yang terinfeksi bersin atau batuk, mereka akan melepaskan percikan ludah yang terkontaminasi dan memungkinkan orang di sekitarnya terpapar bakteri tersebut. (2) Kontaminasi barang pribadi: Penularan difteri bisa berasal dari barang-barang pribadi seperti gelas yang belum dicuci. (3) Barang rumah tangga: Dalam kasus yang jarang, difteri menyebar melalui barang-barang rumah tangga yang biasanya dipakai secara bersamaan, seperti handuk atau mainan (Kompas.com).

Prof. Dr. dr. Ismoedijanto, DTM&H,Sp.AK, seorang pakar penyakit tropik dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga menyebutkan difteri adalah penyakit infeksi yang bisa menular dengan sangat cepat sehingga saat masuk rumah sakit, pasien difteri biasanya diisolasi. Jika infeksinya berat, maka seseorang yang tertular bisa meninggal pada hari ketiga atau keempat. Penderita rata-rata meninggal karena bakteri mengeluarkan racun yang mengganggu fungsi jantung, ginjal, atau pernapasan. Penyakit ini menular pada mereka yang belum pernah mendapat imunisasi saat bayi. Selain itu, mereka yang mendapat imunisasi tidak lengkap juga rentan tertular.

Sistem penularan penyakit difteridisebabkan oleh kuman,kontak langsung dengan penderita karena penyebarannya sangat cepat melalui udara, serta penyerangan yang disebabkan oleh droplet atau percikan ludah dari penderita kepada orang lain. Pada penderita yang parah harus dibawa ke rumah sakit dengan isolasi.

Orang yang terinfeksi namun tidak menyadarinya dikenal sebagai carier (pembawa) difteri. Carrier penyakit difteri biasanya orang dewasa atau orang tua meski tidak mendapat gejala penyakit difteri namun bisa menyebarkan kepada keluarga dan lingkungannya, terutama bagi anak-anak. Karena itu, sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier.

Orang-orang yang berada pada risiko tertular difteri meliputi: anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi terbaru; orang yang hidup dalam kondisi tempat tinggal penuh sesak atau tidak sehat; orang yang memiliki gangguan sistem kekebalan; siapapun yang bepergian ke tempat atau daerah endemik difteri. Seseorang dapat terkontaminasi bakteri berbahaya tersebut apabila menyentuh orang yang sudah terinfeksi. Orang yang telah terinfeksi bakteri difteri dan belum diobati dapat menginfeksi orang nonimmunized selama enam minggu - bahkan jika mereka tidak menunjukkan gejala apapun (Kompas.com).

Pencegahan Penyakit Difteri

Penyakit difteri bisa dicegah sejak dini. Upaya pencegahan bagi serangan Difteri ini dilakukan secara dini kepada anak-anak atau balita dengan mendapatkan imunisasi DPT pada usia 2 bulan ke atas. Biasanya vaksin DPT diberikan pada kegiatan bulan imunisasi di sekolah kepada anak SD kelas 1. Pencegahan penyebaran penyakit Difteri juga dilakukan dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat atau PHBS yang harus terus dilakukan seperti mencuci tangan sebelum makan. Tujuan PHBS salah satunya agar penyebaran penyakit menular itu bisa ditangkal. Lain lainnya adalah memperhatikan asupan makanan yang bergizi dan seimbang juga harus terus dijaga.

Penyakit ini dapat dicegah dengan menyuntikkan vaksin DPT. Vaksin ini melindungi anak-anak terhadap ancaman penyakit Difteri, Pertusis dan Tetanus. Jadwal pemberian vaksin yang disarankan diberikan 3 kali selang 1-2  bulan, dimulai umur 2 bulan. Pada saat anak mencapai umur 18 bulan atau paling dekat selang 6 bulan dari vaksinasi ke-3 sewaktu bayi dan sewaktu anak mencapai umur 10 tahun, harus kembali diberikan vaksin DPT. Jika vaksin DPT tidak lengkap diberikan pada anak-anakmaka efek perlindungantidak optimal dan rentan terkena difteri. Jika ada penderita penyakit difteri ditemukan pada suatu wilayah harus segera dilakukan ORI (Outbreak Respons Imunization).

Kualitas vaksin juga ditentukan oleh penyimpanan vaksin mulai dari awal pabrik dan transportasi sampai ke tempat penyuntikan. Vaksin DPT harus selalu terjaga suhu dan lingkungannya, seperti vaksintidak boleh beku, tidak boleh terkena langsung sinar matahari, dan syarat-syarat lainnya. Vaksin yang digunakan untuk imunisasi difteri harus vaksin yang potensial yang disimpan pada suhu 4 sampai 8 derajat celsius dan tidak boleh disimpan atau dipindahkan sembarangan.Versi terbaru dari vaksin ini dikenal sebagai vaksin DTaP untuk anak-anak dan vaksin Tdap untuk remaja dan dewasa. Teknik penyuntikan juga mempunyai persyaratan tertentu yang harus dipenuhi agar efek perlindungannya terpenuhi.

Pada bulan Juni 2011, Dana Anak-anak untuk PBB (Unicef) telah menyerukan penurunan harga vaksin terkait program imunisasi global. Beberapa vaksin yang turun harga itu antara lain vaksin yang dapat membasmi lima penyakit semisal difteri, hepatitis B, dan hepatitis C. seruan Unicef mendapat tanggapan positif oleh beberapa perusahaan obat internasional terkait pengurangan harga jual vaksin di negara-negara berkembang.

Langkah antisipasi sehubungan dengan KLB penyakit difteri imunisasi secara serentak di seluruh puskesmas pada seluruh anak di bawah usia 10 tahun, baik yang terkena difteri maupun yang belum. Pemerintah juga seharunya mensosialisasikan cara pencegahan dini difteri secara terus menerus berdasarkan periode. Penyakit difteri dapat ditanggulangi secara dini pada rumah tangga melalui pengenalan gejala penyakit seperti panas tinggi, batuk disertai pilek, pembengkakan tenggorokan, dan terdapat selaput putih di tenggorokan. Gejala lainnya seperti cepat malas, kulit mudah berdarah jika dipegang, sakit mata sampai bengkak dan kotoran mata sampai berdarah. Bila menunjukkan gejala tersebut pada anak, makasegera dibawa ke dokter atau puskesmas terdekat untuk mendapatkan penanganan. Langkah lainnya adalah pendataan dan pelacakan ke tempat atau rumah pasien untuk mengidentifikasi kontak eratnya yang berhubungan dengan penderita. Spesimen pendataan diteliti di laboratorium untuk memantaupenyebaran pada kontak erat pasien, terutama yang dewasa.

Guna meningkatkan kekebalan anak-anak terhadap ancaman penyakit, ada tiga jenis vaksin imunisasi. Ketiga jenis vaksin meliputi campak, Difteri Tetanus (DT), dan Tetanus Toxoid (TT). Campak diberikan ke siswa kelas I, DT untuk kelas II, dan TT untuk kelas III dan IV. Program tersebut sudah rutin dilakukan setiap tahun serentak secara nasional sejak tahun 1998.

Kedepan, kualitas program imunisasi yang harus diperkuat. Gerakan imunisasi guna menanggulangi meluasnya penularan penyakit harus dilakukan secara berkelanjutan. Setidaknya butuh waktu tiga tahun untuk menekan kasus penularannya. Peranan pemerintah sangat penting dalam menjaga cakupan imunisasi sampai 95 % untuk anak Indonesia. Jika pemerintah mampu menjaga kesinambungan program imuniasasi, maka KLB difteri kecil kemungkinan akan terjadi karena kasus penularannya akan menurun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun