Akhir-akhir ini media dikejutkan dengan angka perkawinan turun yang mengalami penurunan selama lima tahun terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2023 angka pernikahan sebesar 1.577.255 berbeda pada tahun 2022 sebesar 1.705.348. Penurunan angka pernikahan membuktikan bahwa masyarakat saat ini tidak lagi memandang pernikahan sebagai tuntutan sosial.Â
Pernikahan mulai dipandang sebagai sebuah hubungan yang dilakukan saat sudah mempunyai persiapan. Perlu diingat bahwa saat ini kebutuhan pokok masih terbilang mahal dengan tingginya angka pengangguran saat ini.Â
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat pengangguran terbuka pada bulan Agustus sebesar 4.91% mengalami peningkatan jika dibandingkan pada Februari 4.82%. Tingginya pengangguran dengan banyaknya pekerja yang masih mendapatkan gaji dibawah Upah Minimum Regional (UMR) membuat banyak orang yang memilih untuk hidup sendiri dengan tidak memiliki pasangan atau keturunan.Â
Hal ini menarik, melihat banyaknya kasus perceraian yang didasari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan alasan kesulitan ekonomi. Bahan pangan yang mahal dan gaji yang tidak mengalami progresif membuat masyarakat berbondong-bondong menunda atau bahkan memilih tidak menikah.
Menariknya, budaya yang selama ini melihat bahwa perempuan terbatas pada tugas domestik mulai berubah pandangan. Perempuan saat ini memilih berdaya dengan dirinya. Melihat bahwa kebutuhan yang terus meningkat dengan pendapatan yang tidak progresif membuat perempuan memilih hidup bekerja dengan penghasilannya sendiri.
 Badan Pusat Statistik mencatat bahwa angka perceraian pada 2023 sebesar 463.654 dengan faktor terbesar yaitu pertengkaran dan perselisihan terus menerus. Media sosial yang marak dengan isu "Marriage is Scary" juga mendukung fenomena menunda pernikahan. Testimoni pasangan yang sudah berkeluarga bagaikan momok menakutkan untuk orang-orang yang belum menikah.
Menikah terlihat menakutkan untuk perempuan karena membatasi mereka dalam mengejar pendidikan ataupun pekerjaan. Belum lagi perselingkuhan ataupun kekerasan yang terjadi saat ini. Fenomena ini mendorong perempuan untuk mandiri dan memperoleh kesempatan belajar lebih tinggi sehingga mereka tidak bergantung pada orang lain.Â
Perempuan yang bekerja dan berdaya atas dirinya akan membuka kesempatan berpikir untuk memperoleh pasangan yang setara dan sehat baik secara mental maupun finansial.Â
Hal ini baik untuk indonesia saat menikah bukan lagi "uber target" melainkan kesiapan, akan membuka kesempatan melahirkan anak berdasarkan kemampuan ilmu yang dimiliki orangtuanya. Pernikahan yang dilakukan dengan kesiapan memiliki dampak untuk kesehatan emosional sehingga perbedaan pendapat yang berujung pertengkaran atau kekerasan dalam rumah tangga dapat diminimalisir.
Refrensi :