“Toiletnya gimana?”
Itulah pertanyaan pertama yang sering ditanyakan oleh teman-teman yang belum pernah naik gunung. Mungkin bagi beberapa orang, untuk menahan lapar masih bisa dilakukan tapi kalau menahan urusan ke ‘belakang”, waduhh..mana tahann...
Nah, kalau mendaki Gn. Papandayan, urusan ke “belakang” sudah tidak menjadi masalah lagi. Toilet yang memadai dengan air mengalir yang cukup bisa ditemui di sepanjang jalur pendakian. Nahan BAK atau BAB tidak perlu lama-lama. Pendaki tidak perlu lagi mencari semak-semak atau pohon untuk BAK atau BAB. Selama pendakian saya juga tidak menemui bekas tisu yang dibuang sembarangan atau bau pesing. Bau menyengat hanya tercium saat kita melewati area kawah yang mengandung banyak belerang.
Kebetulan saya mengunjungi Gn. Papandayan saat puncak musim kemarau, sehingga suhu di area perkemahan sekitar 10 derajat celcius di malam hari, bahkan lebih dingin lagi menjelang pagi hari. Udara dingin biasanya meyebabkan perut terasa kembung dan masuk angin. Untung saja saya selalu membawa Tolak Angin. Ketika badan sudah mulai menggigil kedinginan, saya segera minum Tolak Angin. Efeknya langsung terasa, badan menjadi lebih hangat dan perut kembung menghilang. Tolak Angin terbukti efektif untuk tolak dingin. Apalagi Tolak Angin mengandung bahan-bahan seperti adas, kayu ules, daun cengkeh, jahe, daun mint dan madu yang juga berkhasiat untuk menyegarkan kembali badan yang pegal-pegal karena kecapaian. Sehingga pagi-pagi ketika saya bangun, badan saya sudah lebih segar.
Menjelang siang, kami sudah bersiap-siap untuk turun gunung. Jalur turun berbeda dengan jalur naik, kami akan melewati hutan mati. Area yang cukup luas ini adalah area yang dulunya hutan namun terkena aliran lava ketika gunung meletus tahun 2002. Pemandangan pohon-pohon yang tinggal tersisa batangnya justru menjadi obyek foto yang menarik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H