Mohon tunggu...
yanti undip
yanti undip Mohon Tunggu... -

I am a student of nursing program faculty of medicine Diponegoro University

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Situs Liangan

14 Desember 2010   04:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:45 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia merupakan salah satu negara yang kental akan kebudayaannya. Maka tidak dipungkiri lagi begitu banyak para wisatawan asing maupun domestik yang mengagumkan kebudayaan Indonesia. Kebudayaan mempunyai nilai yang sangat tinggi sebagai salah satu investasi  dan sumber devisa bagi Indonesia. Apalagi Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke, dimana hal ini menunjukkan keanekaragaman budaya sebagai suatu kebanggaan masyarakat Indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui, diantara kebudayaan tersebut, seperti  kesenian  budaya yang meliputi tarian tradisional, lagu daerah, seni wayang kulit atau orang, ketoprak, kuda lumping; peninggalan sejarah dan masih banyak lagi yang lainnya. Oleh karena Indonesia memiliki peninggalan sejarah yang terlampau banyak, seperti halnya candi Borobudur, dimana candi ini merupakan salah satu keajaiban dunia yang memukau banyak orang.

Seiring dengan perkembangan jaman dan peningkatan mutu globalisasi,  kebudayaan seolah terabaikan. Hal ini terbukti bahwasanya saat ini begitu banyak peninggalan sejarah yang tak terawat dengan baik. Misalnya saja seperti candi –candi di Indonesia, ada beberapa batuan yang patah dimana sebagian terjadi akibat gempa dan sebab lain yang kurang diketahui.

Namun, pada tahun 2010 ini, mungkin merupakan langkah awal untuk kembali menyadarkan masyarakat akan arti penting kebudayaan. Sebagai bukti akhir – akhir ini banyak ditemukan beberapa fosil atau situs peninggalan sejarah di beberapa tempat di Indonesia. Dan pemerintah pun mulai antusias dan adanya perhatian terhadap temuan – temuan tersebut.

Salah satunya adalah penemuan Situs Liangan yang jauh dari dugaan masyarakat. Liangan yang merupakan dusun di lereng Gunung Sindoro sebelah utara, tepatnya di Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, memang kononnya adalah sebuah Kadipaten Tempurung dimana bagian dari Kerajaan Majapahit. Beberapa pihak juga menyebutkan bahwa situs tersebut merupakan peninggalan pada masa Ki Joko Bodo. Namun sampai saat ini belum ada kepastian secara tepat mengenai hal tersebut.

Jelasnya situs – situs itu berupa candi, benteng dan ada juga makam yang masih tertata dengan dengan rapi. Selain itu juga ada patung – patung dari yang berukuran kecil sampai besar, terdapat pula barang – barang  antik seperti cobek, alu, bahkan yang mengherankan lagi ada beras dan padi yang masih menyerupai wujud aslinya tetapi sudah berwarna hitam, akibat letusan gunung beberapa abad yang lalu, serta masih banyal lagi situs – situs bersejarah lainnya.

Nah, hal apa yang menyebabkan adanya temuan tersebut ??

Pada awalnya, sebagian besar warga Liangan adalah petani tembakau. Namun, harga tembakau semakin lama semakin merosot. Sampai saat ini juga permasalahan tembakau masih menjadi kontrofersi berbagai pihak di Indonesia. Padahal barang maupun bahan – bahan pertanian seperti pupuk, atau semacamnya begitu mahal, sementara hasil yang diperolehnya tak seberapa. Biaya kehidupan sekarang pun serba mahal, terutama dari segi ekonomi yang berdampak ke aspek – aspek lain seperti halnya pendidikan. Hal ini terbukti  bahwa sebagian besar remaja di Dusun tersebut hanya sampai pada tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama saja. Penulis pun menyadari, bahwasanya sampai saat ini warga Liangan sebagian besar masih jauh dari kesejahteraan hidup. Sehingga salah satu alternatifnya, warga Liangan beralih ke pertambangan pasir, terutama warga yang tinggal di kawasan lereng Gunung Sindoro maupun Gunung Sumbing. Memang, hasil menambang begitu besar. Satu hari saja warga bisa mencari uang mencapai Rp 100.000,00. Namun, di sisi lain, pekerjaan tersebut sangat berat, keras dan bahaya bagi keselamatan. Hal ini terbukti banyak korban jiwa yang meninggal dunia saat menggali pasir karena terkena bebatuan besar diatasnya. Yang lebih memprihatinkan lagi, penambangan pasir ini di kerjakan oleh semua golongan. Dari anak remaja, kaulamuda, bapak – bapak, bahkan ibu – ibu sekalipun. “Oh, betapa kerasnya hidup ini!”....

Penggalian pasir pun sempat menjadi kontrofersi antara pemerintah daerah dan warga setempat. Warga dengan keterbatasan hidupnya ingin sekali memenuhi  kebutuhan mereka, karena dengan berpegangan sebagai petani saja sudah tidak dapat dipastikan perolehan hasilnya. Sedangkan pemerintah ingin melindungi masyarakatnya. Dan beberapa saat juga penambangan pasir sempat di lingkari garis polisi dan semua peralatannya pun di segel. Warga sempat kebingungan.

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwasanya secara logika saja pertambangan pasir sudah merusak alam. Coba bayangakan, dataran tinggi yang terdiri dari gunung, pohon – pohon di tebangi dan lahan berganti sebagai pertambangan pasir. Apa yang akan terjadi kepada anak cucu kita nanati??!!! Sementara sebagian besar penduduk tinggal di dataran yang lebih rendah. Hal ini juga tidak dapat dipungkiri apabila terjadi sebuah bencana. Namun semua garis kehidupan sudah diatur oleh Sang Khaliq. Wallahu ‘alam bi shawwab.

Pemerintah kembali berpikir ulang mengenai hal tersebut. Akhirnya, galian pasir dilanjutkan dengan syarat tidak melebar. Salah satu warga dengan tidak sengaja menemukan sebuah batu  yang tertata rapi, beserta patung – patung kecil. Dari laporan tersebut, pemerintah  menganjurkan agar penggalian dilanjutkan dengan alasan mungkin masih adanya hasil – hasil temuan lainnya. Setelah beberapa meter ke dalam, ternyata batu – batu tersebut merupakan benteng, ada pula yang berbentuk candi, makam dan beberapa patung besar lainnya. Akhirnya, situs – situs tersebut terlihat penuh dan menarik setiap orang.

Adanya laporan terakhir mengenai penemuan tersebut, bahwasanya pemerintah daerah akan membeli area penambangan pasir guna dijadikan sebagai obyek wisata. Hal ini juga mengundang beberapa arkeolog dari Jogja untuk mendokumentasikan dan menngamandemenkan kebudayaan bersejarah ini. Sebagai wujud pengembangan sumber daya manusia pun, salah seorang warga di anjurkan memegang peranan sebagai guide.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun