Mohon tunggu...
Yan Syafri Hidayat
Yan Syafri Hidayat Mohon Tunggu... -

We search we find we solve. Hidup bagi saya adalah proses pembelajaran, mencari tahu, mendapatkan, dan menyelesaikan. Pengetahuan yang kita peroleh bukan bak pipa yang airnya masuk langsung keluar, tapi semua akan mengendap dalam setiap glia dan neuron yang ada dalam otak. Selama roda kehidupan masih berputar, selama itu pula saya belajar, episentrum semua itu adalah cita-cita!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pentingnya Menceritakan Kisah-kisah Islami kepada Anak-anak

19 Februari 2012   06:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:28 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada kesalahan persepsi di kalangan masyarakat bahwa anak-anak menyukai televisi hanya karena gambar-gambarnya yang bergerak, sehingga kekhawatiran yang muncul hanya sebatas sifat adiktif televisi yang membuat anak-anak seolah-olah tidak ada kegiatan lain selain menonton televisi, bukan kekhawatiran akan dampak buruk dari informasi yang diserapnya.

Usia anak 0 - 5 tahun adalah usia golden-age atau usia emas. Pada masa ini, anak-anak mengembangkan hampir 80% otaknya. Kemampuan otak anak-anak untuk menyerap informasi sangat tinggi. Informasi yang mereka peroleh pada masa ini akan berdampak bagi kehidupannya di kemudian hari. Oleh karena itu, perhatian orang tua mengenai informasi yang diserap pada usia ini sangatlah penting. Anak-anak mendapatkan informasi melalui berbagai macam media, seperti interaksi langsung dengan orang tuanya, benda-benda di sekitarnya, lingkungan tempat bermainnya, buku-buku, dan televisi.

Sayangnya, media informasi yang banyak diminati anak-anak adalah media televisi. Ya, televisi merupakan media informasi yang efektik bagi anak-anak. Ada kesalahan persepsi di kalangan masyarakat bahwa anak-anak menyukai televisi hanya karena gambar-gambarnya yang bergerak, sehingga kekhawatiran yang muncul hanya sebatas sifat adiktif televisi yang membuat anak-anak seolah-olah tidak ada kegiatan lain selain menonton televisi, bukan kekhawatiran akan dampak buruk dari informasi yang diserapnya.

Penelitian menunjukkan, cara anak melihat televisi lebih canggih dari yang kita duga. Daniel Anderson dari University of Massachusetts dan Lizabeth Lorch psikolog dari Armheist College, belakangan--sekitar tahun 1970-an--mulai meneliti hal ini dan menyimpulkan bahwa anak-anak lebih tertarik pada informasi yang didapatkannya daripada unsur-unsur tayangan yang terlihat gemerlap dan berkilat. Dalam sebuah eksperimen, Anderson dan Lorch mempertontonkan episode film anak-anak yang dipotong-potong (disunting) sehingga informasinya menjadi tidak beraturan. Mereka memilih episode yang memang terbukti disenangi anak-anak. Akan tetadpi setelah disunting, episode yang semula sangat digemari anak-anak itu menjadi tidak digemari lagi; anak-anak meninggalkan tayangan tersebut.

Dalam eksperimen lainnya, mereka melakukan percobaan terhadap dua kelompok anak-anak usia lima tahunan. Kelompok pertama berada dalam sebuah ruangan yang diberi banyak mainan, kelompok kedua berada dalam sebuah ruangan tanpa mainan. Dalam dua ruangan tersebut, program televisi anak-anak ditayangkan. Hasilnya? seperti yang kita duga, anak-anak yang diberi mainan hanya menggunakan 47% waktunya untuk menonton televisi, sedangkan anak-anak yang tidak diberi mainan menggunakan 87% waktunya untuk menonton televisi. Tidak mengherankan. [1]

Yang mencengangkan adalah, ketika kedua kelompok tersebut ditanya mengenai isi tayangan, hampir semuanya menjawab dengan porsi yang sama, tidak muncul perbedaan antara kelompok yang diberi mainan dan yang tidak diberi mainan. Mereke menyimpulkan bahwa, "Anak-anak usia lima tahun di ruangan penuh mainan menjalankan permintaan penguji dengan cara yang strategis sekali, yakni membagi perhatian mereka antara bermain dan menonton sedemikian sehingga mereka menonton hanya bagian-bagian yang menurut mereka paling informatif. Strategi ini begitu efektif sehingga anak-anak tersebut tidak harus menonton terus menerus."

Kalau kita cermati hasil penelitian ini, kita akan tersadar betapa besar pengaruh televisi pada anak-anak usia emas. Anak-anak tidak hanya melihat gambar-gambar saja, tapi meresapi informasi yang disampaikan. Informasi ini kemudian membentuk kepribadian yang akan membekas sampai anak menginjak usia dewasa.

Jika tayangan televisi yang ditayangkan berupa fantasi, anak-anak akan mencoba membayangkan dunia ini layaknya di dunia fantasi. Jika tayangan yang ditayangkan berupa Doraemon, anak-anak akan mencoba berimajinasi berada di dunia Doraemon, begitu seterusnya. Dr Muhamad Salah, memperingatkan bahayanya tayangan-tayangan fantasi bagi anak-anak. "Ada banyak cerita yang tidak baik untuk disampaikan kepada anak-anak." kata Dr Muhammad Salah dalam sebuah acara diskusi, "seperti cerita-cerita fiksi atau fiksi ilmiah, juga cerita superhero seperti superman, kura-kura ninja, dan sebagainya." Cerita-cerita tersebut membuat anak-anak berusaha menghubung-hubungkan dunia fantasi--yang tidak rasional--kepada kenyataan yang ada--yang rasional. Bisa dibayangkan jika anak-anak ditanya tentang realita negara Palestina yang dijajah Israel, anak-anak akan berkomentar 'datangkan superman, atau power ranger', bukan berkomentar tentang kepahlawanan Salahuddin Al-Ayubi atau kepemimpinan Umat bin Khattab. Cerita-cerita fiksi membuat nak-anak dilatih untuk berpikir tidak rasional.

Yang lebih membahayakan adalah jika tayangan yang ditayangkan berupa sinetron, gosip artis, dan tayangan kriminal, yang bukan lagi berupa fantasi tapi seakan-akan realita sehari-hari, maka anak-anak akan membayangkan kehidupan sehari-hari mereka akan seperti yang mereka tonton.

Sayangnya, hampir tidak ada acara televisi yang baik untuk anak-anak, entah tayangan fiksi maupun non-fiksi. Kalaupun ada, paling tidak iklannya tidak baik untuk anak-anak. Sangat sulit bagi orang tua memilih tayangan televisi yang baik untuk anak-anak mereka.

Oleh karena itu, kita perlu membiasakan anak-anak mendapatkan informasi denagn media lain selain televisi, yaitu interaksi langsung dengan orang-tua. Hanya dengan cara inilah kita dapat memilih-milih informasi yang tepat untuk anak-anak. Story-telling, atau menceritakan kisah-kisah dengan gaya yang interaktif dan menarik dapat menjadi solusi alternatif yang ampuh sekaligus besar manfaatnya.

Kebiasaan menceritakan kisah-kisah ini harus dimulai sejak dini, sebelum anak-anak lebih tertarik kepada televisi. Kebiasaan ini pula yang akan membuat anak-anak suka membaca. Dr Sigman, seorang penelti dan psikolog dari British Psychological Society mengatakan, "Sangat sulit membuat anak-anak tertarik dengan membaca kecuali dengan membuat mereka tertarik sedini mungkin.", dia menambahkan, "Banyaknya stimulasi dari media televisi dan komputer, menurut para peneliti, berdampak buruk pada anak-anak." [2]

Kisah-kisah terbaik untuk anak-anak adalah kisah Islami, sebagaimana dikatakan Dr Muhamad Salah. Tidak ada alasan bagi kita untuk memilih kisah-kisah selain kisah Islami. Pertama, karena manfaatnya besar, kedua kisah-kisah Islami sedemikian banyaknya hingga tidak akan kehabisan cerita. [3]

Sebut saja kisah-kisah yang ada di Al-QUr'an, kisah Nabi Musa dengan Fir'aun, Nabi Nuh, Nabi Sulaiman dengan ratu Balqis, Nabi Yunus dengan Ikan paus, dan kisah-kisah Nabi lainnya. Kisah ashabul kahfi, kisah Lukman Al-Hakim, kisah keluarga Imran, kisah Khidir, juga kisah Abu Lahab, Samiri, Dzulkarnain dan Ya'juj dan Ma'juj, dan belum lagi kisah-kisah tentang binatang seperti Gajah, burung Hud-Hud, burung Ababil, semut dan Nabi Sulaiman, lebah, sapi betina, dan sebagainya. Dari Al-Quran saja banyak kisah menarik yang dapat diceritakan kepada anak-anak, apalagi ditambahkan kisah-kisah yang berasal dari hadits, seperti kisah tiga orang bani Israil yang diuji dengan penyakit lepra, buta, dan botak, hampir-hampir tak terbatas jumlahnya.

Kisah-kisah tersebut harus diceritakan dengan gaya bahasa anak-anak agar mudah diterima. Lebih baik lagi jika orang tua sudah hafal diluar kepala tentang kisah-kisah tersebut agar tidak perlu membaca buku untuk menceritakan kepada anaknya. Disamping bisa mengimprovisasi dengan gaya bahasa anak-anak, orang tua juga dapat menceritakan kisah-kisah tersebut kapan saja anak-anak membutuhkannya. "Menceritakan kisah-kisah kepada anak-anak bukan seperti memberikan obat yang harus diminum sesuai aturan," kata Dr Muhamad Salah, "Ketika anak-anak bosan, hentikan, ketika anak-anak menginginkannya ceritakan." Selain gaya bahasa, lingkungan juga perlu disesuaikan agar anak-anak terstimuli dengan kisah-kisah tersebut.

Yuk kita mulai membiasakan menceritakan kisah0kisah Islami kepada anak-anak di keluarga kita!

[1] Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference

[2] http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/education/1002672.stm

[3] www.youtube.com/watch?v=arkrJt3wAFI

yansyafri.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun