Salah satu persoalan pelik yang muncul akibat kurang prediktifnya Polri adalah penanganan kasus dugaan tindak pidana kekerasan seksual oleh seorang putra kyai di salah satu pondok pesantren di Jombang Jawa Timur.
Seyogyanya karena TKP berada di jawa timur kemudian terduga pelaku adalah seorang Gus (putra Kyai pengasuh pondok pesantren besar), maka penyidik sudah bisa memprediksi bahwa proses penindakannya tidak bisa menggunakan cara-cara biasa. Â Polri harus memahami karakter khas orang jawa timur yang sangat menghormati dan menghargai para kyai dan keluarganya. Bahkan sampai saat ini masih banyak santri-santri yang selalu sami'na waatho'na (saya mendengar dan saya taat) kepada para kyai pengasuh pondok pesantren mereka atau bahkan berprinsip pejah gesang nderek pak Kyai ( Mati hidup ikut pak Kyai). Hal ini terbukti dari lolosnya Gus tersangka itu dari dua kali sergapan polisi.
Kondisi yang demikian mengharuskan polisi, khususnya yang bertugas di jawa timur, untuk sejak awal menjalim komunikasi dan hubungan yang baik dengan para kyai di wilayahnya masing-masing. Kemudian selalu mengkomunikasikan permasalahan-permasalahan kamtibmas dengan para pengasuh pondok pesantren tersebut. Para kyai itu pada umumnya sangat senang bila ada pimpinan Polri yang mau sowan kepadanya dan meminta saran atau nasehat terkait bagaimana menciptakan situasi kamtibmas yang mantab. Konsep Tokoh Agama (Toga) dan Tokoh Masyarakat (Tomas) harus diintensifkan lagi.
Kembali pada kasus pencabulan oleh putra seorang kyai, apabila Penyidik sudah menjalin hubungan dengan para kyai di lingkungannya maka  Polri bisa berkonsultasi dan meminta bantuan kepada kyai lainnya, kalau bisa, kyai yang lebih senior dari orang tua si tersangka/terlapor yang sudah menjadi DPO sejak Bulan Januari 2022 tersebut.
Jika upaya persuasiv ini tidak juga berhasil maka Polri bisa melakukan proses penindakan terukur sesuai prosedur yang berlaku untuk para pelaku tindak kejahatan yang tidak kooperatif dengan menggunakan segala sumber daya yang dimiliki oleh Polda Jatim. Publik harus diyakinkan bahwa Polri tidak kalah oleh pelaku tindak kejahatan siapapun orangnya. Hukum tidak boleh tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Aspek RESPONSIBILITAS Â dari polri Presisi sangat terkait dengan open dan jiwa welas asih, dalam hal ini polisi harus peka sekaligus responsif dengan penderitaan orang-orang yang ada di wilayah tanggung jawabnya. Barang kali Polri tidak terkait langsung dengan penderitaan, kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat, tetapi semangat responsibilitas harus mengasah ketajaman nurani polisi untuk turut ambil bagian dalam upaya pengentasan dari kepapaan tersebut.
Contoh sangat bagus sudah ditampilkan oleh Ipda Rochmat Tri Marwoto, yang saat ini tengah mengemban tugas Negara sebagai anggota pasukan pengawalan bantuan PBB di kota Bangui, Republik Central Afrika. Sejauh ini perwira Brimob Polri itu telah  mengasuh dan mengangkat sebagai anak 92 orang anak yatim dan anak kurang mampu, sebagian besar sudah mandiri dan 9 orang anak asuhnya sudah berkeluarga. Berkat kegigihannya menjadi orang tua asuh dari anak anak kurang beruntung tersebut, anggota Polri kelahiran Madiun tersebut telah menerima penghargaan dari banyak pihak termasuk dari Kapolda Jatim dan Kapolri bahkan Ipda Rahmat termasuk dari sangat sedikit dari anggota Polri yang dicalonkan menjadi penerima Hugeng Award tahun 2022. (Detik Jatim, 31/03/2022).
Yang menggembirakan adalah akhirnyanya  banyak ditemukan insan-insan bhayangkara yang memiliki responsibilitas melebihi panggilan tugas sebagai mana Ipda Rachmat. Beberapa personil Polri, seperti halnya Ipda Rachmat telah menjadi pengasuh puluhan bahkan ratusan anak yatim, beberapa yang lainnya mendirikan pondok pesantren gratis bagi anak yatim dan kurang mampu, tidak sedikit yang menjadi guru di daerah-daerah terpencil, termasuk ada juga yang membangun dan mengelola rumah singgah untuk ibu hamil resiko tinggi di daerah yang jauh dari fasilitas kesehatan, ada juga yang mengelola perpustakaan keliling dan lain sebagainya.
Kita bisa membayangkang apabila ada 50 % "saja" dari seluruh Kapolres dan kapolsek melakukan hal hal ma'ruf seperti tersebut diatas maka insya Allah angka kemiskinan dan buta huruf akan menurun secara signifikan, kesejahteraan pun akan kian merata. Terlebih apabila para Kapolres dan Kapolsek itu bisa "memaksa" para pengusaha dan orang-orang kaya di wilayahnya untuk melakukan hal yang sama, maka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan izin Tuhan, akan bisa segera terwujud.
Aspek TRANSPARANSI YANG BERKEADILAN serta semakin majunya teknologi informasi, menuntut Polri selalu siap setiap saat untuk diawasi dan dievaluasi oleh masyarakat.  Presiden dalam amanatnya menyatakan bahwa penyimpangan sekecil apapun oleh Polri akan sangat mempengaruhi persepsi publik terhadap Polri. Oleh karenanya presiden Jokowi memerintahkan Polri untuk tidak ceroboh dan selalu presisi dalam menjalankan tupoksinya  sebagai pelindung, pengayom, pelayan masyarakat dan penegak hukum.
Polri harus mewaspadai empat zona tugas yang masih rawan korupsi. Pertama, "zona pelayanan" yang berlangsung dalam urusan pemberian izin, registrasi, verifikasi dan sebagainya. Â Kedua adalah wilayah kewenangan khususnya dalam pelaksanaan tugas sebagai penegak hukum. Â Kemudian yang ketiga adalah korupsi fiskal atau anggaran. Zona ke-empat yakni bidang manajemen personalia, misalnya dalam perekrutan, promosi, mutasi, termasuk dalam seleksi mengikuti pendidikan pengembangan.