Kemudian pada tanggal 30 Mei 2018 kejaksaan Negeri Tanjung Balai mengeluarkan surat perintah menahan Ibu Meliana. Jaksa mendakwanya telah melanggar pasal 156 subsidair pasal 156a Huruf (a) KUHPidana yang berbunyi:
"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia".
Alat bukti yang diajukan oleh jaksa adalah surat pernyataan dan fatwa MUI Provinsi Sumatra utara yang menyatakan Meliana sudah melakukan penistaan Agama (Islam).
Dalam persidangan beberapa ahli memberikan pembelaannya, salah satunya adalah Ketua PBNU Bidang Hukum, HAM dan Perundang-Undangan Robikin Emhas.]
Dengan menguraikan dalil-dalil yang komprehensif dan shahih, Robikin Emhas menilai bahwa perkataan Meliana yang mengatakan "suara azan terlalu keras" tidak termasuk penistaan agama. Namun pembelaann ini sama sekali tidak digubris oleh majelis hakim yang kekeh ngugemi fatwa MUI provinsi sumut.
Jika yang marah dan kalap karena hal hal demikian adalah kaum muslim akar rumput mungkin masih bisa diterima.
Tetapi vonis 18 bulan untuk Meliana dan vonis 1-5 bulan untuk para pelaku pengrusakan belasan vihara mengindikasikan bahwa penyidik, penuntut, majelis hakim dan beberapa pengurus MUI telah secara berjamaah meluapkan "kemarahan" dan "kekalapan" kepada seorang perempuan miskin beragama buda, saudara kita sebangsa setanah air yang sepatutnya dikasihani.
Saya yakin kita semua, khususnya umat Islam sudah hafal dengan berbagai teladan kehidupan yang sudah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW.
Bagaimana ketika masih tinggal di Makkah beliau mengunjungi dan membawakan oleh oleh bagi seorang kafir qurays yang sedang sakit, padahal orang ini selalu melempari nabi dengan tahi unta.
Kemudian peristiwa Thaif, yang bahkan membuat malaikat Jibril marah, nabi malah memaafkan orang orang yang telah mengusir dan melemparinya dengan batu.
Juga bagaimana nabi tiap sore secara rutin menyuapi dengan lembut seorang pengemis yahudi buta yang "mangkal" di pojok pasar kota Madinah. Setiap kali didatangi, si yahudi itu selalu berpesan kepada beliau agar tidak mengikuti seorang gila yang mengaku nabi bernama Muhammad.