Mohon tunggu...
Yansean Sianturi
Yansean Sianturi Mohon Tunggu... Lainnya - learn to share with others

be joyfull in hope

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ingat Pilpres 2024, Bukan Lomba Adu Kuat atau Cepat

2 September 2023   22:11 Diperbarui: 5 September 2023   05:21 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

“Persyaratan pertama politik bukanlah kecerdasan atau stamina, tetapi kesabaran. Politik adalah permainan jangka panjang dan kura-kura biasanya akan mengalahkan kelinci.” John Major

Koalisi parpol dalam mengusung capresnya menuju pilpres 2024 telah diwarnai berbagai atraksi yang mengejutkan. Perubahan spektakuler yang tidak diduga telah terjadi pada minggu ini. Mediapun sibuk memberitakan dinamika yang terjadi pada anggota dua koalisi yaitu Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) dan Koalisi Perubahan.

PKB secara mendadak telah memutuskan untuk keluar dari koalisi lamanya yakni KKIR. Keputusan keluar dari koalisi akibat dirubahnya nama KKIR menjadi Koalisi Indonesia Maju. PKB menyatakan bahwa perubahan nama itu dilakukan secara sepihak oleh rekan koalisinya yaitu Partai Gerindra. Padahal koalisi yang dibangunnya bersama Partai Gerindra sering dipublikasikan kepada publik, sebagai koalisi yang solid. Tindak lanjutnya, pada tahun lalu kedua partai tanpa pikir panjang langsung menandatangani pakta kerjasama politik sebagai piagam untuk pemenangan Pilpres 2024. Apa mau dikata, minggu ini piagam tersebut berubah menjadi kenangan belaka.

Menyusul langkah PKB, berikutnya adalah Partai Demokrat mengumumkan hengkang dari Koalisi Perubahan. Menariknya, drama perpisahan anggota koalisi ini telah menimbulkan luka yang mendalam. Akibatnya, kata "penghianatan" ikut menjadi trending topic dan bergaung di seantero Republik ini. Kader partai yang satu mulai menyerang partai atau capres lainnya dengan menggunakan kata "penghianat". Sebaliknya, partai atau capres yang dituduh sebagai penghianat kemudian merespon dan membela dirinya dengan menyebut partai yang menuduhnya sebagai partai yang tidak komitmen atau ingkar janji.

Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa parpol dan para elitnya tidak ada yang mau disalahkan. Dramatis memang, bila sikap ksatria mulai hilang dalam diri beberapa tokoh atau elit pada Bangsa ini. Jangan salahkan juga, jika rakyat menyikapi kondisi ini sebagai drama, layaknya playing victim semata.

Publik melihat para elit parpolnya seakan sedang berlomba memainkan drama pembelaan diri dengan tujuan agar mendapat simpati publik. Parpol yang seharusnya berperan memberikan edukasi politik kepada masyarakat. Mohon maaf, perannya justru berubah menjadi dagelan politik semata. Dibalik pembelaannya dengan menyalahkan parpol lain, malah menimbulkan persepsi negatif yang baru. Kesan bahwa "merasa paling benar sendiri" menjadi  dominan dan nuansa tersebut bisa saja ditangkap oleh rakyat yang belum menentukan pilihannya. Efeknya, bila dicermati secara seksama. Sebenarnya akan merugikan parpol yang bertikai atau adu kuat itu sendiri.

Publik beranggapan bahwa koalisi yang telah terjalin selama ini akan langgeng dan kokoh. Namun anggapan publik tersebut, ternyata keliru. Kondisi yang terlihat sekarang, jelas bertolak belakang. Terbukti, koalisi tidak menghasilkan kenyamanan bagi masing-masing parpol tersebut. Hal ini terjadi karena adanya faktor selalu ingin berkuasa dan dorongan berlomba agar menjadi pemenang dalam koalisi, apalagi terkait masalah elektabilitas. Seumpama dalam pertandingan sepakbola, tidak bisa semua pemain dalam tim bertindak atau berperan sebagai pencetak gol. Ada peran dan fungsinya masing-masing dalam tim sepakbola, begitu juga seharusnya dalam koalisi atau kerjasama parpol. 

Hasilnya, bentuk kerjasama menjadi kurang tulus dan berubah saling intip mencari sisi kelemahan dari rekan koalisinya. Apalagi ada tawaran rumput tetangga yang lebih indah dibandingkan rumput dalam koalisi. Akibatnya, parpol yang merasa tidak nyaman berada dalam koalisi karena keinginannya tidak bisa diakomodasi. Lalu, berupaya mencari cara atau jalan keluar dari koalisi melalui mekanisme yang terhormat dan elegan. Tujuannya agar tidak menimbulkan image negatif dari pemilih dan suara dukungan dari rakyat tetap terjaga. 

Namun, pada akhirnya harapan agar bisa keluar secara baik-baik dari koalisi tidak dapat terlaksana dan malah terpleset saling menyalahkan. Supaya ramai dan tetap mendapat simpati serta tidak salah dimata rakyat. Parpol atau pihak yang bertikai terkesan memainkan peran sebagai korban, sekaligus menyalahkan pihak lain yang tidak komitmen terhadap janji. Dampaknya, baru terlihat sekarang yaitu api dalam sekam yang telah disembunyikan selama ini kemudian meledak dan diluapkan serta dihidangkan dihadapan masyarakat.

Masalah sebenarnya telah muncul sejak awal pembentukan kerjasama atau koalisi. Parpol yang merasa tidak ingin kehilangan momentum, lalu secara tergesa-gesa membentuk koalisi. Padahal pilpres 2024 masih lama, namun koalisi sudah dibentuk dua tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2022. Konsekuensi atas tergesa-gesanya pembentukan koalisi, isi piagam kerjasama tidak mengatur sanksi apabila ada salah satu pihak yang ingkar janji. Seiring waktu berlalu, apa yang diharapkan oleh parpol terhadap koalisinya ternyata tidak semua bisa diwujudkan. Namun, karena isi  piagam memiliki kelemahan yaitu tidak mengikat para anggota dalam koalisinya. Dampaknya terlihat seperti saat ini, parpol bebas keluar-masuk koalisi tanpa ada sanksi atau ikatan apapun. Sanksinya malah diberikan kepada masyarakat untuk menilai dan menghukumnya pada hari pencoblosan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun