Melihat arah koalisi yang ada, kemungkinan Gubernur yang menjabat saat ini menjadi capres maupun cawapres akan sulit sekali. Partai Golkar juga telah mengirimkan sinyal-sinyal yaitu Airlangga Hartarto akan diusung oleh partainya menjadi capres, sama seperti Prabowo. Harapan dan peluang masih ada, asalkan Partai Nasdem, Demokrat dan PKS mampu menurunkan ego para ketua umumnya dan melahirkan calon dari kepala daerah.
Partai  politik bergabung dan membentuk koalisi ujungnya adalah ingin mengusung kader terbaiknya menjadi capres atau cawapres. Mustahil bila tujuan parpol berkoalisi hanya ingin mengusung kadernya menang di pemilu legislatif saja.
Koalisi yang terbentuk saat ini sebenarnya menyimpan potensi bahaya yaitu "api dalam sekam". Koalisi ini setiap saat bisa saja bubar ditengah jalan. Titik temu siapa capres dan siapa cawapres belum ada diantara anggota koalisi. Walaupun Partai Golkar dengan kendaraan politik Koalisi Indonesia Bersatu berkeinginan agar ketumnya Airlangga Hartarto bisa diusung sebagai Capres, hal ini tidaklah mudah. Partai Golkar perlu mempengaruhi supaya PAN dan PPP tidak menolaknya. Â Seandainya diterima, pertanyaan berikutnya adalah siapa pendamping Airlangga Hartarto yang bisa diterima dan memuaskan keinginan PAN dan PPP. Tentunya masing-masing partai juga berkeinginan calonnya dapat diterima sebagai pendamping. Perbedaan kepentingan setiap saat dapat mengintai dan menjadi pemicu munculnya potensi konflik diantara anggota koalisi.
Melihat situasi ini, PDIP sebenarnya lebih diuntungkan karena lebih aman dari tarik-menarik kepentingan capres dan dapat membaca situasi. PDIP lebih mudah berkomunikasi dengan semua partai tanpa memandang sekat-sekat koalisi yang ada. Apalagi disinyalir bahwa beberapa partai membentuk koalisi bertujuan untuk membendung dominasi PDIP di tahun 2024, nanti. Â Beberapa pengamat memprediksi PDIP akan mendapat peningkatan suara sebagai "Efek Ekor Jas (coat-tail effect)", keberhasilan pemerintahan Jokowi. Saat ini, pemerintah telah berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi 5,44% yoy pada kuartal II-2022, padahal beberapa negara lain masih berjuang untuk lepas dari minus growth akibat dampak pandemi covid 19.Â
Strategi memilih fokus mengawal pemerintah yang ada hingga berakhir masa jabatan presiden bisa saja mendapat berkah dari anggota koalisi yang retak. Wajar saja, jika PDIP memiliki ketenangan dalam menentukan capres atau cawapresnya dan siapa teman untuk berkoaliasi pada tahun 2024.
Salam Demokrasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H