Hari ini pilkada serentak untuk memimpin negeri ini telah selesai dilaksanakan di 171 daerah. Hasil Ouick Count juga sudah diumumkan dengan adanya beberapa kejutan yang diluar prediksi sebelumnya. Menariknya, karena pilkada tahun 2018 ini sering dikait-kaitkan dengan perhelatan pilpres tahun 2019. Bahkan slogan "jika kami menang, maka #2019 ganti Presiden", sering dijadikan branding oleh beberapa kontestan untuk menarik hati dan meraup suara pemilih. Namun, realitanya cara dan metode kampanye yang digunakan tersebut, malah terlihat kurang efektif dan berbanding terbalik dengan harapan. Suara mayoritas rakyat malah cenderung memilih calon lainnya dan enggan mendukung calon yang menggunakan slogan "#2019 ganti Presiden". Padahal, sebelumnya beberapa elit partai telah mengamini bahwa hasil pilkada tahun ini merupakan pemanasan dan pintu masuk bagi kesuksesan hasil pilpres tahun depan.
Kemudian yang menjadi pertanyaan berikutnya, adalah:
Apakah kemenangan yang tertunda ini, karena terlampau sibuk urus pilpres sehingga kurang fokus turun ke konsituen?
Apakah fakta ini membuktikan bahwa rakyat sudah mulai cerdas dan bisa membedakan antara pilkada 2018 dengan pilpres 2019?
Sudah menjadi rahasia umum beberapa bulan ini, partai-partai malah sibuk urus calonnya untuk pilpres 2019, sehingga proses pilkada terkesan seperti ditinggalkan. Konsentrasi beberapa parpol terpecah dan kurang memperhatikan calon yang diusungnya di pilkada. Jika hasil sementara ini, kelak ditetapkan oleh KPU, maka parpol yang ingin ganti presiden di 2019 perlu kerja keras lagi. Provinsi Jabar, Jateng dan Jatim merupakan lumbung suara terbesar secara nasional dan hasilnya justru dimenangkan oleh parpol pendukung Jokowi. Peran figur calon, mesin partai dan relawan yang turun langsung menyapa pemilih ternyata lebih efektif. Pemilih cenderung lebih melihat rekam jejak dan kerja nyata yang dilakukan sebelumnya serta visi dan misi yang disampaikan oleh para calon pada debat pilgub yang disiarkan secara langsung oleh media utama.
Isu-isu sentimen agama, suku dan ras untuk dukung-mendukung, perlu untuk di koreksi kembali karena tidak berhasil di beberapa daerah. Pilkada hari ini jelas berbeda dengan pilkada yang terjadi sebelumnya di DKI. Pilkada saat ini relatif aman dan berlangsung lancar serta jauh dari isu-isu SARA. Maraknya perang black campaign di berbagai media sosial untuk menjatuhkan calon lain juga kurang berhasil. Pemilih sudah mulai mengetahui dan bosan dengan perang hoax dan ujaran kebencian serta produksi berita yang tidak disertai data akurat yang selama ini muncul secara masif di medsos.Â
Pilkada hari ini membuktikan bahwa masyarakat sudah dapat membedakan antara fakta sebenarnya dengan berita hoax dan ujaran kebencian. Parpol pendukung dan oposisi perlu bersama-sama serta bergandengan tangan dengan pihak penegak hukum untuk memberantas berita hoax dan ujaran kebencian yang sering mengganggu kontestasi proses demokrasi. Semuanya telah menjadi korban berita hoax, karena hal tersebut mengganggu dan menghalangi hadirnya pemimpin yang berkualitas. Perlu menjadi perenungan peribahasa yang mengatakan "menepuk air di dulang terpercik muka sendiri". Kontestasi yang sehat dan fairness serta menjunjung tinggi etika perlu dijadikan budaya sehingga cita-cita demokrasi yaitu masyarakat adil dan makmur dapat segera terwujud.
Hasil Pilkada hari ini memperlihatkan bahwa untuk memenangkan pilpres 2019, bukanlah pekerjaan yang mudah. Masyarakat mulai memilih program kerja yang disampaikan dan akan dilakukan oleh para calon yang dituangkan sebagai komitmen dan janji yang mesti direalisasikan, nantinya.Â
Kerja, kerja, kerja lebih dipilih masyarakat hari ini. Memang perlu diteliti kembali hubungan antara hasil pilkada hari ini dengan keinginan rakyat agar Jokowi tetap Presiden dua periode.
Salam Demokrasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H