Mohon tunggu...
Yansean Sianturi
Yansean Sianturi Mohon Tunggu... Lainnya - learn to share with others

be joyfull in hope

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menunda Penerimaan Negara dari Pajak

30 Maret 2018   19:43 Diperbarui: 1 April 2018   15:02 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (tribunnews.com)

Menyambut "Siaran Pers" Dirjen Pajak, terkait penundaan pemberlakuan kewajiban pencantuman Nomor Induk Kependudukan (NIK) dalam faktur pajak (e-faktur) bagi pembeli orang pribadi yang tidak memiliki NPWP. Adapun peraturan Dirjen Pajak yang ditunda adalah Nomor PER-31/PJ/2017 yang seharusnya berlaku mulai 1 April 2018 ditunda dan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tanggal 29 Maret 2018, Nomor PER-09/PJ/2018. siaran pers

Alasan penundaan karena perlunya kesiapan infrastruktur, memperhatikan kesiapan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan senantiasa mendengarkan masukan masyarakat serta menjaga situasi kondusif bagi dunia usaha. Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah mengapa ditunda? Padahal tujuan pencantuman data ke dalam sistem perpajakan agar pengenaan pajak tidak hanya diberlakukan pada sekelompok kecil masyarakat yang telah memiliki NPWP saja, tetapi juga pada semua pedagang yang belum memiliki NPWP (asas keadilan). Otomatis, jika semua pedagang (non end user) terdata, maka hasilnya akan meningkatkan penerimaan bagi Negara dari sektor pajak penghasilan (PPH).

Beberapa bulan lalu, sebelum terbitnya siaran pers tersebut, sebenarnya pedagang yang tidak memiliki NPWP telah dimintakan NIKnya oleh supplier (distributor). Distributor menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan NIK para pedagang, guna mendukung suksesnya program Dirjen Pajak. Beberapa distributor bahkan ada yang mengeluarkan pernyataan (ultimatum), yaitu " jika belum menyerahkan NIK hingga per 1 april, maka orderan pelanggan tidak akan dilayani". Namun pada kenyataannya, beberapa pedagang tetap tidak mau menyerahkan NIKnya. Alasan klasik dari beberapa pedagang yang belum mau memberikan nomer NIK, yakni mereka siap jika tidak diberikan barang dan akan membeli barang ke pedagang grosir walaupun dengan sistem beli tunai (cash) serta harga lebih mahal. 

Lalu, siapakah Grosir penjual itu? 

Grosir penjual ini sebenarnya adalah pedagang juga dan membeli barang secara langsung ke supplier (distributor). Sebagai jaringan pemasaran kedua dari distributor, pedagang grosir dalam menjajakan dan menjual barangnya, biasanya tidak mengeluarkan faktur Pajak. Maklum, karena sistem berdagang menggunakan cara tradisional dan administrasinya juga masih sederhana. Di pasar, grosir dapat menjual barang secara langsung ke konsumen akhir, yaitu masyarakat dengan cara mengecer (jumlah kecil). Sebaliknya, grosir juga bisa menjual barang ke  sesama pedagang, tentunya dalam jumlah partai besar. Grosir biasanya telah memiliki NPWP, sehingga lebih mudah meretur barang rusak atau kadaluwarsa ke distributor.

Demikian sekilas seluk-beluk mengenai grosir, selanjutnya apa sih yang menjadi alasan para pedagang tidak ingin memiliki NPWP atau memberitahukan NIKnya? 

Pedagang yang tidak mau menyerahkan NIK, biasanya karena tidak mau berurusan dengan proses administrasi yang sering terkesan berbelit-belit. Kemungkinan lain, adalah memang ingin menghindari pajak yaitu tidak mau membayar pajak penghasilan final sebesar 1% dari penghasilan kotor (dibawah 4,8 Milyar setahun). Pedagang yang malas berhubungan dengan proses administrasi biasanya tidak mengerti cara menghitung pajak dan relatif perputaran modalnya kecil. Sedangkan pedagang yang ingin menghindari pajak, sebenarnya paham mengenai perpajakan dan perputaran modalnya besar. Tujuan Penundaan tersebut pada satu-sisi, memang disambut gembira oleh pedagang yang belum memiliki NPWP. Sedangkan sisi-lainnya, penundaan tersebut dapat mengakibatkan bertambah lamanya ketidakpastian bagi para supplier atau distributor utama. Keraguan bagi supplier (distributor) yaitu antara melayani atau tidak melayani pesanan barang dari pembeli orang pribadi yang belum memiliki NPWP.

Kebijakan pelaksanaan Nomor NIK ini, sedikit-banyaknya akan berdampak pada penurunan pembelian barang dari para pedagang ke supplier (distributor). Dikhawatirkan penurunan belanja pedagang ini bisa mengakibatkan terganggunya jalur distribusi barang dari pabrik hingga ke masyarakat dan pasar menjadi lesu. Pemerintah melakukan penundaan guna menghidupkan kembali gairah dan berharap semangat baru dalam berusaha timbul dari bawah (pedagang kecil). Namun, sebenarnya Dirjen Pajak dapat melakukan cara lain, seperti :

  • membuka data historis penjualan e-faktur yang telah dimilikinya, kemudian menyisir pembelian pedagang dalam jumlah Rupiah besar tetapi belum memiliki NPWP. Data yang ditemukan tersebut, pedagangnya langsung dikunjungi dan dimintakan NIK atau dibuatkan NPWPnya (bagi penghindar pajak),
  • mewajibkan pedagang grosir mengeluarkan faktur pajak, namun agak sulit karena memerlukan dana yang cukup besar,
  • sosialisasi dan edukasi pedagang yang belum memiliki NPWP mengenai manfaat dan arti penting dari NPWP itu sendiri,
  • Menggandeng assosiasi pada masing-masing sektor industri/perdagangan untuk melakukan sosialisasi dan edukasi kepada para anggotanya.

Tujuan pengusaha mengembangkan bisnis dan pedagang berjualan di pasar adalah mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya. Ketika usaha yang dilakukan secara maksimal hanya menghasilkan keuntungan yang tipis, maka pedagang tersebut akan berpikir dan mencoba keberuntungannya dengan mengubah nasib ke bidang usaha lain. Kiranya, pemerintah perlu secara cermat menerapkan kebijakan dengan menghitung ulang keuntungan yang didapat oleh pedagang. Hal ini, bisa dimulai dengan menghitung keuntungan yang diperoleh pedagang setelah dipotong pajak. Jika, penghitungan pengenaan pajak 1% dari penghasilan kotor, bagi para pedagang terasa memberatkan dan membuat mereka mengeluh. Alternatif lain, dapat dipikirkan pengenaan pajak 1% bukan dari penghasilan kotor tetapi dari penghasilan bersih. Namun, menghitung penghasilan bersih tidaklah mudah, karena sulitnya menjamin pembukuan para pedagang telah dilakukan secara baik dan benar. Jika dokumen pendukung tidak memadai, beban biaya sebagai pengurang sangat rentan untuk dimanipulasi.

Cara lainnya, bisa dengan menurunkan dasar pengenaan pajak menjadi  lebih kecil atau dibawah 1% dari penghasilan kotor. Hal ini, sebagai bentuk pengurangan beban pajak sambil pedagang tersebut merapikan pembukuannya. Setelah sosialisasi dan edukasi dilakukan oleh Dirjen Pajak serta pedagang mengerti mengenai hak dan kewajiban pembukuannya, barulah beban pajak dinaikkan kembali secara bertahap. Akhirnya, Pemerintah memiliki tambahan dana dari penerimaan pajak untuk melanjutkan dan mensukseskan program pembangunan serta pelaku usaha memiliki kegembiraan dalam mengembangkan bisnisnya. terima kasih

semoga bermanfaat

Salam Demokrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun