Ramainya polemik akhir - akhir ini, terkait masalah netralitas Jendral Polri yang rencananya akan diusulkan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo kepada Presiden sebagai Penjabat Gubernur di dua provinsi yaitu : Jabar dan Sumut menghiasi pemberitaan media massa nasional. Pro dan kontra dari berbagai parpol pendukung para calon Kepala Daerah di pilkada terkait netralitas Jendral Polri yang nantinya akan ditempatkan pada kedua daerah tersebut.Â
Bertolak belakang terhadap yang kontra, Menteri Dalam Negeri mengusulkan perwira tinggi Polri tersebut karena alasan adanya potensi kerawanan gangguan keamanan dan ketertiban serta sesuai dengan Pasal 201 Ayat 10 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menyebutkan, "Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." sehingga berdasarkan undang - undang di atas, Mendagri merasa bahwa tidak ada aturan yang dilanggar. Bahkan, berita terakhir seorang anggota dari partai PDIP pun ikut mengatakan bahwa Mendagri mengusulkan karena telah ada yurisprudensi hukum maupun politik yaitu merujuk pengangkatan sebelumnya Penjabat Gubernur Sulawesi Barat dan Penjabat Gubernur Aceh.
Argumen  yang  menolak anggota Polri menjadi Penjabat Gubernur karena adanya potensi menabrak  UU Aparatur Sipil Negara (ASN) pasal 1 ayat 8 UU ASN : pejabat pimpinan tinggi adalah Pegawai ASN yang menduduki jabatan pimpinan tinggi serta Undang Undang Kepolisian RI, nomer 2 tahun 2002 Pasal 28 ayat 1 dan 3 :
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
 (3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Adapun tujuan dari partai yang menolak penempatan perwira tinggi Polri sebagai Penjabat Gubernur supaya netralitas tetap terjaga dan polri dapat profesional pada bidang penegakan hukum serta berkonsentrasi menjaga keamanan/ketertiban.Â
Namun, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah :
- Apakah  resistensi ini nantinya tidak akan mematikan peluang dan kesempatan pengembangan karir serta pengalaman penugasan baru yang seharusnya bisa didapatkan oleh anggota Polri berupa pengetahuan bidang pemerintahan?
- Apakah jika diisi oleh pimpinan tinggi madya dari aparatur sipil instansi lainnya dapat terjamin dan terjaga netralitasnya?
Jika merujuk pada posisi yang akan diisi yaitu penjabat gubernur, tidak dapat dipungkiri bahwa jabatan tersebut adalah jabatan politis, sehingga sulit untuk menjaga netralitasnya. Polemik masalah netralitas ini, mau tidak mau mengakibatkan "syak wa sangka" serta kecurigaan disana - sini. Namun, terpulang dari hal ini semua, biarlah para pihak dapat menahan diri dan berhenti mengintervensi eksekutif serta membiarkan proses usulan pengangkatan ini berjalan sebagaimana mestinya.
Seyogyanya, kita dapat bersabar untuk menanti dan melihat keputusan yang akan diambil oleh Presiden RI sesuai dengan wewenang yang dimilikinya sebagai Kepala Pemerintahan. Setelah keputusan dihasilkan, tentunya ada yang merasa puas dan ada yang tidak puas, namun marilah kita juga mulai belajar untuk menghormati apapun keputusan yang telah diambil oleh Bapak Presiden serta bisa mendukungnya. Bagi para pihak, yang tetap merasa tidak puas dapat menggunakan saluran yang tersedia yaitu ombusdman, menempuh jalur hukum atau menyerahkan nantinya pada rakyat sebagai penilai/wasit/hakim yang adil yang akan menjatuhkan pilihan sebagai bentuk hadiah atau bisa juga hukuman pada hari "H" pencoblosan. Itulah hakikat sebenarnya dari  kedaulatan rakyat sebagai  "Prinsip Demokrasi" yang telah kita pilih bersama dalam berbangsa dan bernegara.
SALAM DEMOKRASI
Gambar. (sumber: http://okezone.com)