Hari ini, hampir semua berita politik nasional menyoroti calon yang diusung oleh Partai Demokrat (PD) dan koalisinya. Keterkejutan terjadi karena nama bakal calon Gubernur DKI yang diusung adalah Mayor Inf. Agus Yudhoyono (AY) yang tidak lain adalah putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)yang juga merupakan orang paling berpengaruh di PD.
Banyak opini yang menyayangkan pencalonan tersebut. Namun, banyak pula yang mengapresiasi langkah tersebut. Lalu bagaimana dengan saya?
Menurut saya yang buta akan politik melihat ini sebagai hal yang wajar-wajar saja. Toh, itu adalah hak setiap orang untuk dicalonkan dan mencalonkan selama ada yang mau mencalonkan dan mendukung pencalonannya.
Mungkin pertanyaan besarnya adalah mengapa PD dan koalisinya mencalonkan seorang pemuda yang sedang dalam masa emas karier militernya? Saya pribadi kagum dengan sosok Mas AY yang muda dan memiliki karier bagus di militer. Namun, kini tiba-tiba harus melepaskan cita-cita dan kariernya yang sedang ia bangun sendiri.
Politik adalah kekuasaan. Paling tidak itu yang sering saya dengan dari setiap kali ada diskusi tentang politik di televisi. Berbagai cara pasti dilakukan partai politik untuk merebut kekuasaan termasuk harus rela menjilat ludah sendiri demi sebuah kepentingan besar: Kekuasaan.
Tentu apa yang dilakukan PD dan koalisinya juga untuk mendapatkan kekuasaan itu dan ini berbicara tentang DKI-1. Entah apa yang ada di pikiran bapak SBY ketika mengusung putra sulungnya sendiri yang masih terikat dengan kedinasan militer, atau mengamini (kalau itu merupakan usulan dari partai koalisi lainnya) ketika AY dicalonkan. Mengapa bukan Ibas yang justru sudah dikader sejak awal menjadi seorang politikus diajukan sebagai calon DKI-1? Tentu ini mengundang suatu pertanyaan tersendiri. Termasuk saya yang menanyakannya.
Seorang bapak yang baik, tentu akan menghormati dan mendukung apa yang menjadi cita-cita putranya. Orang tua mana yang tidak akan bangga melihat keberhasilan anaknya meraih cita-citanya dengan perjuangannya sendiri. Saya percaya Mas AY masuk militer karena cita-citanya dan tentu nama besar orang tuanya tidak ingin menjadi pengaruh dalam masa merintis kariernya (meski sulit sebenarnya). Kecuali jika dulu, ia masuk militer karena keinginan sang ayahanda tercinta maka sebagai anak yang berbakti pada orang tua, ia harus rela juga menanggalkan status tentaranya karena kehendak bapaknya yang baik demi sebuah kekuasaan.
Bila ada di posisi Mas AY tentu hal ini bukan sesuatu yang mudah. Tentu konsekuensinya sangat besar. Paling tidak salah satunya adalah menjadi bulan-bulanan pemberitaan media, dari yang sosial sampai yang antisosial. Dari pemberitaan yang positif hingga negatif. Apalagi yang akan dihadapi adalah nama besar Ahok sang petahana.
Dari sisi pengalaman, tentu Mas AY kalah jauh dibandingkan dengan Ahok. Dari sisi ketenaran pun, Mas AY tidak setenar Ahok, Sandiaga Uno, maupun nama-nama lain yang sempat muncul sebelumnya. Namun, situasi saat ini sebenarnya merupakan ajang perkenalan Mas AY sendiri kepada masyarakat. Orang yang selama ini tidak pernah diperhitungkan dalam Pilgub DKI 2017 esok tiba-tiba muncul. Pemberitaan dan opini yang muncul di publik tentu ini menjadi promosi gratis yang dapat dimanfaatkan.
Secara hitung-hitungan tentu sangat berat mengandalkan Mas AY untuk menang dalam Pilgub DKI esok. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah kredibilitas dan elektabilitas AY bagi masyarakat DKI sendiri. Masyarakat DKI tentu sudah paham betul tentang pemimpin seperti apa yang diharapkan untuk memimpin daerahnya. Tentu sosok yang baru saja muncul tidak serta merta menarik hati mereka. Ingat, pemilih sekarang semakin cerdas. Saya yakin setelah ini akan banyak agenda pencitraan beliau pada masyarakat baik yang “blusukan” mapun yang tidak.
Saya yakin PD dan koalisinya menyadari betapa beratnya menandingi nama besar Ahok yang masih memiliki tingkat kredibilitas tinggi di mata masyakat DKI. PD pasti juga sudah sadar betul bahwa tindakannya ini akan menghadirkan suara-suara sumbang maupun berimbang tentang keputusan tersebut. Jangan-jangan PD dan koalisinya memang sudah merencanakan untuk tidak menang hanya sekedar formalitas dan bersensasi sembari membangun rencana ke depannya.
Bagi saya, apa yang dilakukan PD dan koalisinya adalah gambaran mereka sendiri. Mereka telah menunjukkan kegagalan dan kegalauannya dalam membangun kader yang kuat dan bermartabat. Kader yang mengamal dan mengawal Pancasila yang menjunjung demokrasi dan sejahtera. Kader yang siap menjadi pemimpin yang benar-benar pemimpin.
Salam Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H