Mohon tunggu...
Yan Okhtavianus Kalampung
Yan Okhtavianus Kalampung Mohon Tunggu... Ilmuwan - Bekerja sebagai peneliti agama dan berbagai hal terkait keagamaan

Di sini saya menuangkan berbagai ide terkait agama. Kadang mengenai kekristenan, kadang mengenai agama lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ekklesiologi di Tengah Wabah

20 Juli 2023   08:30 Diperbarui: 20 Juli 2023   08:36 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diskusi #Bacarita Sore diprakarsai oleh Farly Rondonuwu, S.Teol. yang mengundang Dr. Denni Pinontoan sebagai Pemantik Diskusi dan saya sebagai Moderator. Diskusi dilakukan dengan menggunakan aplikasi Google Hangout dan dimulai tepat jam 5 sore pada tanggal 18-April-2020. Rencana awal diskusi akan berakhir pada 6.30 tapi berlanjut sampai jam 7 malam karena antusiasme dari para peserta dan pemantik diskusi. Peserta dihadiri 20 orang lebih yang berasal dari berbagai elemen. Mulai dari institusi pendidikan tinggi (dosen dan mahasiswa) sampai ke pemerhati kehidupan Gerejawi.

Rangkuman ini saya buat dengan memaparkan poin-poin yang dikomentari oleh peserta diskusi. Jika ingin mendapatkan materi dari Pemantik Diskusi, boleh menghubungi yang bersangkutan. Saya hanya bermaksud untuk melengkapi tulisan tersebut, semata-mata berdasarkan penangkapan saya atau ide-ide yang berselewiran selama diskusi.

Gereja dan Pastoral yang edukatif

Salah satu poin yang ditekankan oleh pemantik diskusi mengenai peran Gereja di tengah wabah covid-19 adalah melaksanakan kerja Pastoral. Pertama-tama Gereja bisa menjadi corong terdepan untuk terus mendidik jemaat agar sadar dengan persoalan wabah ini. Mereka bisa terus menerus diingatkan agar tidak tertular dan menularkan wabah ini. Persoalan wabah ini juga mengubah banyak hal dalam proses bergereja. Salah satunya ialah ibadah perjumpaan fisik yang selama ini menjadi patokan dari kehidupan bergereja, kini harus diubah menjadi ibadah virtual atau hanya berupa suara yang didengarkan lewat pengeras suara. Di tengah hal seperti ini, justru sangat dibutuhkan kerja Pastoral yang konsisten mendidik warga gereja.

Gereja juga Pribadi bukan hanya institusi

Dalam diskusi itu ada kesepakatan bersama baik Pemantik dan peserta diskusi bahwa sesungguhnya Gereja bukan hanya institusi, Gereja juga adalah Pribadi-pribadi. Maka dalam hal menghadapi Covid-19 ini, Gereja sebagai sekumpulan pribadi yang percaya pada Allah yang menyelamatkan kehidupan, perlu juga bertindak secara pribadi tanpa perlu menunggu tindakan dari aspek struktural. Memang Gereja sebagai organisasi perlu bertindak juga, tapi selain menunggu itu, Gereja sebagai pribadi bisa juga mengambil inisiatif. Pemantik Diskusi memberi contoh dimana seorang anggota Polisi yang tanpa perintah pimpinannya, menguburkan pasien covid-19 di daerah Minahasa Utara karena inisiatifnya sebagai seorang majelis Gereja. Di samping itu, ada juga kelompok-kelompok kecil dalam Gereja seperti kolom-kolom yang berinisiatif untuk memberi bantuan diakonia karitatif terhadap yang membutuhkan. Walaupun begitu, para pribadi juga bisa turut mengawasi penyaluran bantuan dari Pemerintah sangat rawan dimanipulasi oleh orang-orang yang berusaha mengambil keuntungan di tengah krisis ini. Orang-orang seperti itu, disebut oleh Slavoj Zizek dalam bukunya yang berjudul  Pandemic,  sebagai bentuk dari barbarisme.

Ekonomi Gereja dan Ekonomi Jemaat di tengah Krisis

Salah satu krisis yang tidak bisa dipungkiri dalam masa ini adalah Krisis Ekonomi. Baik Gereja sebagai institusi maupun tiap anggota jemaat mengalami persoalan ekonomi. Wabah ini menyerang berbagai unsur masyarakat tanpa ada satupun yang siap,termasuk Gereja. Di media sosial, banyak yang mendesak agar Gereja bisa terus melaksanakan Diakonia karitatif. Tapi insitusi Gereja sendiri sementara mengalami defisit anggaran akibat ketiadaan perkumpulan ibadah-ibadah yang selama ini dilaksanakan. Masyarakat juga begitu. Mereka mengalami krisis ekonomi karena banyak aspek mata pencarian yang berhenti akibat wabah ini. Terkait ini, yang dipersoalkan oleh salah satu peserta diskusi adalah bagaimana mungkin di tengah krisis, Gereja bukan membantu orang-orang yang membutuhkan tapi justru terus menagih persembahan ke rumah-rumah jemaat.

Cara berpikir ini masih menggunakan logika pasar saham yaitu logika transaksional. Gereja entah itu sebagai institusi dan pribadi memang sementara mengalami krisis ekonomi, tapi dengan pola menagih dan meminta seperti itu tidak akan menyelesaikan persoalan. Di masa ini, hanya semangat rela berkorban dan solidaritas yang bisa melampaui logika pasar dan menguatkan tiap elemen. Institusi Gereja tidak perlu terlalu menuntut persembahan ke jemaat, begitu juga jemaat tidak perlu berpikir bahwa selama ini sudah memberi banyak untuk Gereja maka sekarang saat menuntut balik atas pemberian itu di tengah saat sulit ini. Perlu ada logika cinta kasih, karena Gereja yang sesungguhnya itu selalu berlandaskan diri pada komitmen mengikut Yesus Kristus yang penuh kasih itu.

Terkait tema Ekonomi Gereja ini, kesempatan diskusi berikutnya akan didalami lebih lagi.

Gereja sebagai komunitas penyembuh

Salah satu pokok yang didiskusikan adalah peran beberapa Rumah Sakit milik Gereja yang bisa diusulkan untuk jadi tempat rujukan bagi pasien covid-19. Gereja sudah lama terlibat dalam penanganan kesehatan masyarakat, terbukti dengan banyaknya rumah sakit swasta milik Gereja yang ada di Sulawesi Utara. Namun sampai kini tidak ada satupun yang jadi rujukan pasien covid-19. Penyebabnya tidak diketahui, tapi kalau bisa terjadi maka itu juga menjadi salah satu wujud nyata dari Gereja sebagai komunitas penyembuh. Selain itu, mendukung wacana dari PGI yang merekomendasikan agar Gedung-gedung Gereja boleh dijadikan tempat isolasi dari pasien covid ini. Selain peran Gereja yang terus menghimbau jemaat untuk memperhatikan hal-hal medis sederhana, seperti mencuci tangan, physical distancing, dst juga menjadi wujud dari Gereja yang terus berdialog dengan realitas. Gereja yang membawa berkat.

Gereja perlu menyesuaikan diri dengan ilmu pengetahuan

Gereja bukan baru pertama kali berhadapan dengan wabah yang mematikan. Beberapa yang pernah dicatat misalnya ketika berhadapan dengan wabah Black Death , Flu Spanyol, dan wabah yang pernah melanda Minahasa. Pada awalnya memang Gereja banyak melakukan hal-hal yang keliru, seperti dalam kasus Black Death  yang menewaskan ratusan juta orang di dunia, wabah ini berjangkit lewat kutu tikus yang berpindah ke manusia. Gereja pada waktu itu, menyikapi persoalan ini dengan melakukan pertemuan-pertemuan ibadah yang justru memberi kesempatan untuk wabah itu menyebar. Itu semua bisa terjadi karena Gereja belum mengenali ilmu pengetahuan yang maju seperti sekarang. Menariknya memang dalam sejarah, Gereja sudah menerima perkembangan ilmu pengetahuan ketika berhadapan dengan wabah-wabah selanjutnya. Hanya saja sampai sekarang masih ada beberapa Gereja yang menafikan perkembangan ilmu pengetahuan dan justru menjadi salah satu cluster  penyebaran wabah covid-19 di dunia. Dengan demikian, wujud Gereja sebagai pejuang kehidupan menjadi nyata kalau Gereja selalu bekerja sama dengan ilmu pengatahuan, khususnya ketika berhadapan dengan situasi krisis seperti sekarang ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun