Namun, meskipun ada argumen yang menyatakan bahwa perempuan seharusnya tetap dalam peran tradisional mereka untuk menjaga stabilitas sosial, pandangan ini bisa dipertanyakan. Pertama, peran tradisional sering kali dibangun di atas asumsi yang tidak adil dan diskriminatif. Dengan mempertahankan pandangan ini, kita mengabaikan potensi perempuan untuk berkontribusi lebih banyak kepada masyarakat.
Selain itu, stabilitas sosial yang sering dijadikan alasan untuk mengekang perempuan sebenarnya dapat tercapai melalui keberagaman dan inklusi. Ketika perempuan diberdayakan untuk menjadi subjek autentik, mereka tidak hanya memperkaya pengalaman hidup mereka sendiri tetapi juga memperkuat struktur sosial secara keseluruhan.
Dalam kehidupan sehari-hari, refleksi atas pemikiran Heidegger dapat membantu perempuan untuk lebih memahami diri dan lingkungan mereka. Dengan merenungkan pengalaman dan pilihan hidup, perempuan dapat menemukan makna yang lebih dalam dalam tindakan sehari-hari. Misalnya, perempuan yang terlibat dalam komunitas atau organisasi sosial dapat menggunakan pengalaman mereka untuk menciptakan perubahan positif.
Melalui interaksi dan kolaborasi, perempuan dapat membangun jaringan dukungan yang menguatkan posisinya sebagai subjek autentik. Contoh nyata bisa kita lihat dari gerakan perempuan di seluruh dunia, seperti #MeToo, yang telah berhasil menciptakan kesadaran tentang isu-isu kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan. Ini adalah bentuk nyata dari perempuan yang berani mengambil posisi dan menyuarakan pengalaman hidup.
Maka dalam konteks ini, keberadaan perempuan masih perlu dan butuh akan dukungan moralitas intelektual dalam menapaki perjalanan untuk menemukan dan merayakan otentisitas diri. Dengan cara ini, Â tentu tak hanya membantu, melainkan juga berkontribusi untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan beragam. Seperti kata Heidegger, "Keberadaan kita bukan hanya tentang menjadi, tetapi tentang bagaimana kita memilih untuk ada."
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mendukung perempuan dalam perjalanan mereka menuju otentisitas, tak hanya untuk kepentingan individu, akan tetapi juga untuk kemajuan sosial secara keseluruhan. Dengan demikian, perempuan sebagai subjek autentik bukan hanya sebuah ideal, tetapi sebuah realitas yang dapat dicapai melalui kesadaran dan tindakan.
Pada akhirnya, pemikiran Heidegger mengenai otentisitas dan keberadaan memberikan kerangka yang kuat untuk memahami perempuan sebagai subjek autentik. Dengan mengakui potensi mereka dan menantang norma-norma yang membatasi, perempuan dapat menemukan makna sejati dalam realitas hidup.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H