Di zaman yang serba cepat dan penuh perubahan ini, isu mengenai perempuan sebagai subjek autentik semakin mendapatkan perhatian. Di era yang sering kali menuntut perempuan untuk mengikuti norma-norma sosial budaya yang ketat ini, barang kali filsafat Martin Heidegger bisa jadi kunci untuk membuka pintu pemahaman yang lebih mendalam tentang siapa sebenarnya sosok perempuan.
Martin Heidegger (1889-1976), sang filusuf Jerman pengagas filsafat fenomenologi sekaligus filsafat eksistensialisme ini memiliki fokus pada eksistensi dan otentisitas, dan akan memberikan perspektif yang cukup menarik untuk menyelami posisi perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan konsep dasein, yang berarti keberadaan manusia, bukan hanya sekadar hadir di dunia, tetapi juga memiliki kesadaran akan diri dan lingkungan. Dalam konteks ini, perempuan sering kali terjebak dalam peran yang ditentukan oleh norma sosial dan budaya. Sering kali perempuan diharapkan menjadi sosok yang lembut, pengasuh, dan patuh. Namun, dengan menyadari eksistensinya sebagai dasein, perempuan dapat mulai menggali identitas dan potensi mereka yang sejati.
Dalam pandangan filsafat Heidegger, otentisitas dicapai ketika individu mampu menghadapi ketidakpastian dan mengambil tanggung jawab atas pilihan hidup sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan, dengan mengakui dan merangkul pengalaman hidup yang selama ini sudah dijalani dapat menjadi subjek autentik yang berdaya.
dengan kata lain, konsep Dasein yang diusung Heidegger ini pandangan bahwa perempuan, harus dipahami sebagai subjek autentik, dapat membebaskan diri dari belenggu konstruksi sosial yang mengkekang dan menemukan makna sejati dalam eksistensi realitasnya.
Salah satu argumen yang mendukung posisi perempuan sebagai subjek autentik bahwa perempuan memiliki kapasitas untuk menentukan sikap dan makna hidup sendiri. Dalam konteks sosial-budaya, perempuan sering kali dihadapkan pada ekspektasi dan batasan yang membatasi kebebasan ekpresinya. Misalnya, dibelahan dunia ketiga, masih banyak perempuan masih dipandang sebagai pihak kedua dalam pengambilan keputusan, baik di rumah maupun di tempat kerja.
Dengan mengadopsi pandangan Heidegger ini, perempuan dapat menantang norma-norma sosial-budaya, dan menciptakan ruang bagi dirinya untuk maju dan berkembang. Sebagai contoh misalnya, perempuan juga bisa memilih karier di bidang yang didominasi oleh laki-laki, seperti teknologi dan sains.
Sebenaranya, banyak tokoh-tokoh perempuan hebat seperti Ada Lovelace, yang dianggap sebagai programmer pertama di dunia, atau Marie Curie, yang menjadi perempuan pertama yang memenangkan Nobel dalam dua bidang berbeda. Keduanya bukan hanya berani melawan stereotipe, tetapi juga menunjukkan bahwa perempuan bisa menjadi agen perubahan sesuai bidang keilmuan yang ditekuni.
Dalam laporan dari World Economic Forum, jika perempuan diberikan kesempatan yang sama dalam pendidikan dan pekerjaan, kita bisa melihat peningkatan signifikan dalam pertumbuhan ekonomi global. Lebih jauh lagi, penelitian menunjukkan bahwa ketika perempuan memiliki suara dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan, hasilnya tak hanya menguntungkan secara individu tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.
sebagaimana laporan dari McKinsey Global Institute, meningkatkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dapat menambah triliunan dolar ke ekonomi global. Ini menunjukkan bahwa otentisitas perempuan bukan hanya masalah individu, tetapi juga memiliki dampak sosial yang luas. Ketika perempuan diberdayakan, mereka tidak hanya memperbaiki hidup mereka sendiri, tetapi juga menciptakan dampak positif bagi komunitas mereka.