Setiap ibu memang seharusnyalah berkeinginan untuk memberikan ASI baik secara eksklusif ataupun selama mungkin sesuai dengan tuntunan agama Islam yang tertuang dalam QS Al-Baqarah, 2;233 yang artinya : "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan". Walaupun semua tergantung situasi dan kondisi si ibu itu sendiri.
Untuk para wanita karir, memang keterbatasan waktu cuti menghalangi proses untuk menyusui meski bisa disiasati dengan ketersediaan ASI yang sudah disiapkan sebelumnya dan bisa diberikan melalui botol dot. Tapi saya yakin, pemberian ASI secara langsung akan lebih besar nilai manfaatnya untuk kedekatan bayi dan ibunya.
Banyak tulisan yang membahas tentang wanita karir dan semua problem tentang masalah pemberian ASI secara eksklusif disertai pula dengan berbagai macam solusi kreatif lainnya. Bahkan tidak jarang juga ada wanita yang bersedia mengorbankan karirnya untuk bisa mendampingi tumbuh kembang si bayi apalagi bila mendapatkan buah hati tersebut melalui proses yang tidak mudah dan lama.
Tapi yang ingin saya tuliskan, bukan tentang wanita yang berkarir tapi tentang ribuan bahkan jutaan wanita lainnya diluar sana yang standar hidupnya jauh dari kata layak tetapi mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi untuk secara mudah memiliki keturunan.
Mereka...para wanita ini yang tingkat kesadarannya masih kurang untuk membatasi jumlah kelahiran, seringkali terpaksa harus menyusui dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Semestinya pada saat seorang ibu menyusui, pemenuhan akan makanan dan gizi menjadi perhatian. Sebagai seorang ibu yang juga pernah menyusui, saya paham bahwa kondisi perut dan perasaan haruslah dibuat nyaman sehingga pemberian ASI menjadi lancar dan menjadi saat yang menyenangkan antara ibu dan bayinya.
Bayangkan....ketika perut lapar, sementara si bayi waktunya harus disusui, pastilah air susu yang sebagus apapun menjadi agak terasa hambar karena ibunya sendiri kelaparan. Menyusui pada saat perut terasa kenyang saja akan cepat menjadi lapar dan terasa kosong kembali.Â
Memang menyusui juga menjadi pilihan yang paling murah, praktis asalkan si ibu menyusui sehat. Mendengar dan menyaksikan ibu yang dengan keterbatasannya tetap menyusui bahkan dalam kondisi lapar, sangat terasa miris. Tidak banyak yang bisa saya lakukan selain menolong sebisanya dan sangat terbatas tentunya.
Mengganti ASI dengan susu formula bukan pilihan bagi ibu-ibu yang tidak akan mampu membelinya. Tumbuh dan kembang bayi tersebut tentu tidak seperti yang diharapkan. Padahal bayi-bayi itu adalah penerus generasi yang akan datang.Â
Melihat raut wajah bayi yang kuyu dan layu...sungguh nurani seperti digugat. Bayi yang menangis keras dikolong jembatan itu belum tentu tangisan sewajarnya seorang bayi, karena sangat mungkin tangisannya adalah jeritan kelaparan mengharapkan air susu ibunya yang telah mengering karena ibunya pun merasakan lapar yang sama.
Saya berbuat semampunya dengan segala keterbatasan melihat kondisi seperti itu dan saya ingin mengajak supaya kita sedikit lebih peka dengan lingkungan dan memberikan perhatian yang tinggi kepada para ibu menyusui yang hidup dibawah garis kemiskinan yang mungkin saja mereka bagian dari sanak kerabat, tetangga atau siapapun yang ada disekitar kita.
Perjuangan para ibu ternyata belum selesai setelah proses melahirkan yang mempertaruhkan nyawa. Perjuangan bahkan dimulai saat awal kehamilan.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H