Mohon tunggu...
Noorharyani Noordin
Noorharyani Noordin Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga -

belajar bersosialisasi lewat dunia maya...semoga membawa manfaat bukan mudarat...suka memasak, membaca dan menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Puasa, Pengeluaran yang Semakin banyak dan Kenaikan Harga Bahan Pokok

23 Mei 2016   12:23 Diperbarui: 24 Mei 2016   04:01 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: bisniskeuangan.kompas.com

Menjelang Ramadhan yang tinggal setengah bulan lagi, harga bahan pokok dipasaran sudah semakin menggila. Terakhir membeli sekilo gula masih dikisaran harga 12.000 perkilo, tiba-tiba melonjak jadi 18.000. Itu hanya salah satu diantara yang lainnya. Entah kenapa kenaikan harga menjelang Ramadhan tersebut bahkan sudah terjadi sejak jaman siapapun presidennya. Kebutuhan yang naik berbanding lurus dengan lonjakan harga. Bahkan harga yang tinggi tidak menyebabkan konsumsi menjadi berkurang malah semakin bertambah. Sampai-sampai stok barang kadang kosong dipasaran.

Hakikat puasa yang menahan segala macam nafsu duniawi dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Memberikan istirahat sejenak pada sistem pencernaan kita setelah 11 bulan bekerja keras. Sehingga dengan cara yang tepat akan membuat kita menjadi lebih sehat setelah puasa berlalu. Dan seharusnya bulan berikutnya setelah tidak berpuasa lagi, seharusnya kita sudah terbiasa dengan pola makan yang lebih baik setelah dilatih sebulan penuh selama Ramadhan.

Tapi....apa yang terjadi, pengeluaran menjadi lebih banyak. Dalam skala rumah tangga, anggota keluarganya tidak bertambah, masih sama seperti sebelum Ramadhan. Apa sebetulnya yang salah? Waktu makan dikurangi, ngemil tidak bisa, kenapa pengeluaran menjadi meningkat. Ada yang terasa salah tapi tidak dianggap salah. Ada yang keliru tapi didiamkan saja. Atau semua dianggap sebagai kewajaran. WTP (Wajar Tanpa Pengecualian)

Puasa yang seharusnya menahan, mengekang... membatasi..., tapi saat menahan berlalu...semua menjadi tidak ada aturannya lagi. Padahal masih dalam bulan Ramadhan. Pengekangan yang semestinya tetap dijaga meskipun sudah dibolehkan makan, minum dan sebagainya. Menahan saat dibolehkan memang menjadi lebih sulit rasanya.

Lihatlah betapa istimewanya menu buka puasa. Seperti sebuah hadiah setelah mengerjakan sesuatu yang berat. Seperti sebuah penghargaan atas prestasi. Lapar yang ditahan seharian...mendapat hadiah makanan yang spesial. Haus yang dirasakan, diganjar dengan minuman yang berbagai macam. Masih ditambah lagi dengan cemilan, cepuluh, cebelas....

Menu buka puasa bisa sesuai permintaan. Itulah spesialnya. Semua berusaha dihidangkan sesuai keinginan anggota keluarga. Padahal lapar saat puasa sedang mengajarkan kita untuk rendah hati. Mengingat bahwa diluar sana masih banyak orang yang kelaparan setiap hari, bukan cuma sebulan sekali. Mengajarkan kita untuk selalu berbagi, karena dalam setiap rejeki yang kita terima, akan ada hak orang lain didalamnya. 

Orang yang kebetulan tidak beruntung dan hidup dibawah garis kemiskinan, tentu sering sekali merasakan lapar dan kelaparan. Lapar yang menyakitkan. Lapar yang menyiksa. Lapar yang seolah sedang berpuasa tapi tidak tahu kapan waktunya berbuka dan makan apa untuk berbuka. Dahaga yang tiada habisnya...ketika air minumpun begitu berharga. Sekedar air putih yang menyegarkan, bukan  sirup yang merah, kuning , hijau seperti pelangi diatas meja makan orang kaya. Bukan segelas teh hangat ataupun kurma azwa.

Jadi kenapa harus resah dengan harga yang tinggi?

Bukankah kita harus menahan diri?

Lapar memang membuat kalap. Saat perut melilit disiang hari, betapa semua terasa nikmat. Membayangkan takjil, kebayang rendang, soto yang segar, gulai ikan, terasa menggoyahkan iman. Penjual makananpun bertebaran dimana-mana. Semua ingin dibeli. Uang ada....perut lapar...mata tergoda. Kombinasi yang memabukkan bukan?

Saat berbuka, berapa banyak yang bisa kita nikmati? Berapa kapasitas perut setelah seharian dikosongkan? Sanggupkan rendang, soto, gulai ikan dihabiskan. Padahal masih ada ibadah Taraweh . Walaupun cuma ibadah yang disunahkan tapi tak kan lengkap Ramadhan tanpa tarawehan..tanpa tadarus Qur'an. Perut yang kekenyangan akan jadi penghambat ibadah. Mata yang mengantuk, gerak yang lamban, dan perut yang terlalu kenyang membuat malas bergerak.

Kemeriahan bulan Ramadhan selalu ditunggu. Berbuka dengan yang sederhana akan lebih menyehatkan. Berhenti sejenak menyiksa pencernaan agar mendapat manfaat tidak cuma saat puasa tapi setelah puasa berlalu. Bersahur dengan yang sehat akan membuat stamina terjaga.

Sebulan sebenarnya tidaklah terlalu berasa lama. Sebentaar saja sudah berlalu Ramadhan dari kehidupan kita. 

Dan Idul Fitri tau-tau sudah didepan mata. Pengekangan selama puasa seharusnya membuat Idul Fitri pun dirayakan secara sederhana. Takkan berkurang keindahannya. Takkan mengubah maknanya.

Mudahan-mudahan kita sempat bertemu dengan Ramadhan yang akan datang.  Menjalankannya dengan kesederhanaan dan rendah hati. Menyongsong pribadi takwa sebagaimana yang dimaksud dalam surat Al Baqarah 183....

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa.

Berimankah kita sehingga akan termasuk dalam orang-orang yang diseru untuk berpuasa...?

Bertakwakah kita karena puasa dengan sebenar-benarnya puasa.?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun