Mohon tunggu...
Brightbill
Brightbill Mohon Tunggu... Freelancer - a duckling

Casual reader, movie enjoyer, cat lover

Selanjutnya

Tutup

Book

Review Orang-Orang Biasa: Mereka yang Mau Belajar, Tak Bisa Diusir

8 Desember 2024   22:10 Diperbarui: 9 Desember 2024   00:39 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terdapat dua kelompok besar karakter dalam novel ini, yaitu Sepuluh sekawan dan Inspektur Polisi Abdul Rojali bersama Sersan P. Arbi. Sepuluh sekawan seperti sebutannya adalah sepuluh siswa yang duduk di baris paling belakang saat SMA bernama Handai, Tohirin, Honorun, Sobri, Rusip, Salud, Nihe, Dinah, Junilah, dan Debut. Bukan tanpa alasan, mereka ditempatkan di bangku belakang karena kecenderungan bodoh, aneh, gagal, serta satu orang yang idealis. Adapun Inspektur Abdul Rojali adalah seorang polisi yang tak tercela integritasnya dan merupakan penggemar Shah Rukh Khan. Sedangkan Sersan P. Arbi adalah polisi muda yang sangat mengagumi atasannya itu. Mereka berdua benar-benar menantikan saat terjadinya tindak kejahatan di Kota Belantik. 

Cerita sebenarnya dimulai saat sepuluh sekawan itu telah dewasa. Sebagian telah berkeluarga, mempunyai anak, dan memiliki profesi masing-masing di Belantik. Adalah Aini, putri sulung Dinah, yang diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Ternama. Namun, uang pendaftaran dan uang kuliah kedokteran mahal sekali. Dinah sudah mencari pinjaman ke semua koperasi hingga bank, tak satupun berkenan memberi pinjaman karena tak ada yang bisa dijaminkan oleh Dinah yang hanya seorang janda beranak empat yang berjualan mainan anak-anak. Ditengah kesedihannya itu, Dinah pun menceritakan masalah yang dihadapinya kepada Debut. Singkat cerita, akhirnya kawanan penghuni bangku belakang itu memutuskan untuk merampok bank di Belantik.

Kisah pun berlanjut dengan rencana-rencana, persiapan, dan eksekusi dari keputusan sepuluh sekawan yang cenderung bodoh, aneh, dan gagal itu untuk merampok bank. Akankah orang-orang awam yang tak berjiwa penjahat itu jadi merampok bank? Mampukah mereka memasukkan Aini ke Fakultas Kedokteran?

Pendapatku mengenai novel ini

Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan seorang rekan kerja. Beliau bercerita mengenai tanah di Indonesia yang dulu dikuasai oleh penjajah, dibagi-bagi kepada rakyat Indonesia pada saat kekuasaan mereka berakhir. Rakyat Indonesia itu terdiri dari tiga, yaitu politisi, pejabat, dan aparat. Mendengar ini aku teringat kepada novel Andrea Hirata ini. Novel Orang-Orang Biasa, seperti judulnya memang bercerita mengenai orang-orang yang bukan politisi, birokrat, atau apapun. Mereka adalah orang-orang miskin, tanpa kuasa maupun koneksi, bahkan tanpa kepintaran maupun keahlian yang luar biasa. Mereka memiliki pilihan hidup yang terbatas. Mereka hanya pedagang, kuli di pelabuhan, guru honorer, supir, dan pengangguran yang bertekad menyekolahkan seorang anak pintar kuliah di Fakultas Kedokteran. 

Jujur saja aku memang sedikit bosan ketika membaca bagian awal novel ini yang memang lebih ke perkenalan karakter maupun tempat. Namun, saat sudah sampai di pertengahan hingga ke akhir novel, aku semakin penasaran dan tak terasa aku sudah menyelesaikan novel dengan tebal 262 halaman ini. Bagian favoritku tentunya saat sudah mendekati hari perampokan hingga bagian akhir novel.

Yang kusuka juga dari novel ini adalah karakter setiap tokohnya, yaitu karakter-karakter yang sederhana dan tak serakah. Selain itu, seperti yang sudah-sudah aku sangat menyukai gaya bahasa penulis yang penuh rima tetapi tetap mudah dipahami. Sangat mengagumkan bagaimana Andrea Hirata bisa membawakan cerita yang sebagian besar diisi dengan kegiatan sehari-hari menjadi sebuah novel yang menarik dan membuat waktu berlalu tak terasa ketika membacanya.

Secara keseluruhan buku ini sangat menyegarkan. Beberapa sentilan yang diselipkan penulis pun turut menambah kesegaran buku ini. Cocok sekali dibaca di waktu luang, apalagi bagi para penggemar karya Andrea Hirata.

Kesan setelah membaca novel ini

Pada halaman pembuka buku ini, tertulis bahwa novel ini dipersembahkan untuk Putri Belianti. Awalnya aku berpikir siapa Putri Belianti hingga buku ini dipersembahkan untuknya. Ternyata oh ternyata ia adalah inspirasi dari novel ini, seorang anak miskin yang cerdas yang gagal masuk Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu. Ya, persis seperti tokoh Aini di dalam novel. Menurutku, memang tak dapat dipungkiri bahwa Jurusan Kedokteran itu mahal dan tak semua mampu untuk membayar uang kuliahnya. Belum lagi uang pembangunan di awal masuk kampus! Maka, tak banyak masyarakat kurang mampu yang dapat menjadi dokter, kecuali mereka mendapat beasiswa maupun bantuan pemerintah. Tapi lagi-lagi masa kini orang kaya pun sepertinya berlomba-lomba mencari beasiswa sehingga kolam persaingan menjadi semakin ramai dan sulit. Bagaimana menurut kalian terkait fenomena ini? Apakah kebijakan beasiswa kini sudah semakin ramah pada rakyat yang benar-benar membutuhkan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun