I Nyoman Sukena, 38 tahun, telah menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. Pria asal Desa Bongkasa Pertiwi, Kecamatan Abiansemal, Badung, Bali, itu terjerat kasus hukum gegara memelihara salah satu hewan dilindungi di Indonesia, yaitu landak jawa (Hystrix javanica).
KRONOLOGI KASUS LANDAK JAWAÂ
 Sukena mendapatkan landak Jawa sebagai hadiah dari mertuanya. Landak-landak itu ditemukan dalam kondisi bayi dan ditinggal oleh induknya. Karena merasa kasihan, Sukena memutuskan untuk merawatnya. Sebagai pencinta hewan, ia menganggap landak-landak itu seperti keluarga sendiri. Tanpa sadar bahwa hewan tersebut dilindungi oleh undang-undang, populasi landak Jawa dipeliharaannya pun bertambah melalui perkembangbiakan. Bahkan, landak-landak itu pernah digunakan dalam upacara adat di desanya.
 Berdasarkan laporan warga, polisi mencurigai Sukena memelihara hewan yang dilindungi. Atas dasar laporan tersebut, polisi kemudian melakukan penyelidikan di rumah Sukena. Selama penyelidikan, polisi menanyakan kepada Sukena sejak kapan ia mulai memelihara landak Jawa dan apakah ia memiliki izin resmi untuk melakukannya. Dalam menjalankan tugasnya, polisi juga berkoordinasi dengan pihak yang berwenang dalam bidang konservasi, yaitu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali. Sukena didakwa melanggar Pasal 21 ayat (2) huruf a Jo pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
 Persidangan berlangsung dengan perdebatan mengenai niat Sukena memelihara dan apakah ia tahu landak itu dilindungi. Hasilnya Sukena divonis bebas karena hakim menilai tidak ada unsur kejahatan dan Sukena tidak tahu landak itu dilindungi.
ANALISIS KASUS MENURUT MAZHAB POSITIVISME HUKUM
 Analisis kasus pemeliharaan landak Jawa dari perspektif mazhab hukum positivisme yang berfokus kepada suatu susunan hukum dan bagaimana penerapannya. Dalam kasus ini perhatian utama adalah pada tindakan Sukena memelihara landak Jawa tanpa izin, yang merupakan pelanggaran terhadap undang-undang perlindungan satwa.
 Hukum diterapkan secara konsisten tanpa adanya pengecualian, meskipun terdakwa menyatakan tidak mengetahui bahwa tindakannya melanggar hukum. Penerapan hukum yang terlalu kaku dapat mengabaikan aspek keadilan dan kemanusiaan. Dalam kasus ini, Sukena mungkin tidak memiliki niat jahat dan hanya ingin merawat hewan yang ditemukannya yang dapat dipertimbangkan dalam konteks positivisme dalam kasus landak Jawa:
1. Prinsip Legalitas: Positivisme hukum menekankan pada prinsip legalitas, yaitu bahwa suatu tindakan hanya dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum jika telah diatur secara jelas dalam undang-undang. Dalam kasus landak Jawa, tindakan Sukena memelihara satwa yang dilindungi jelas merupakan pelanggaran hukum berdasarkan undang-undang yang berlaku.
2. Interpretasi Hukum: Meskipun positivisme menekankan pada interpretasi hukum yang ketat berdasarkan teks undang-undang, dalam praktiknya, hakim juga dapat mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti tujuan undang-undang dan konteks sosial. Dalam kasus Sukena, hakim mungkin mempertimbangkan tujuan undang-undang perlindungan satwa dan konteks sosial Sukena sebagai warga desa yang mungkin tidak memiliki pengetahuan yang luas tentang peraturan lingkungan.
Â