(Sambungan artikel “Jogja, Sepuluh Tahun Yang Lalu”, Bagian I, II dan III)
Pagi ini, EET pengganti otw dari Purwareja Klampok melewati pantai selatan Kebumen langsung menuju nDodotan, Bambang Lipuro, Bantul. Mereka berangkat subuh supaya sempat over-lapping dan berbagi pengalaman dengan anggota EET pertama. Sebagaimana permintaan tim EET pertama, mereka dilengkapi dengan beberapa karyawan RS Emanuel yang ahli bertukang untuk mendirikan poskes sekaligus berfungsi sebagai base camp EET. Mereka terdiri dari tukang kayu, tukang batu, dan tukang listrik yang siap bermalam di lapangan. Beberapa lembar plastik biru siap dijadikan atap untuk sekadar berteduh.
Sambil menunggu kedatangan mereka, EET pertama berkegiatan seperti kemarin. Mas Kiko dan mas Karnoto setia melayani warga yang datang ke poskes YEU. Hari ini makin banyak pasien datang dari dusun lain di luar nDodotan.
Saya dan mas Catur melanjutkan bertandang ke beberapa warga sambil menggali masukan, keluhan dan menemukan potensi yang masih tersisa. Berdasarkan pengalaman saya saat gempa di Nias tahun 2005 setahun sebelum gempa Jogja, dan berdasarkan assessment awal, ditemukan potensial masalah yang perlu segera diatasi untuk mengantisipasi supaya tidak menjadi masalah nyata.
Koordinasi Bantuan
Hari-hari pasca bencana, berbagai bantuan dari luar daerah akan datang silih-berganti. Diperlukan koordinasi antar warga dalam menerima dan mendistribusikan bantuan untuk mencegah terjadinya keributan. Pengalaman-ku di Nias Utara tahun sebelumnya masih terngiang di benakku tatkala sekelompok warga berkelahi memperebutkan bantuan yang dilemparkan dari sebuah helikopter yang tidak sempat mendarat.
Mas Catur mengumpulkan beberapa pemuda kampung, membuat organisasi sederhana terutama untuk menghimpun bantuan dan mendistribusikan ke seluruh warga. Mereka bukan hanya mengelola bantuan namun juga spontan melakukan pendataan kondisi kampung: jumlah dan jenis kerusakan tempat tinggal dan bangunan, korban meninggal, korban dirawat di rumah sakit sampai korban yang tidak sempat dibawa ke fasilitas kesehatan karena tiadanya fasilitas evakuasi. Mereka mengawali kegiatan dengan menentukan lokasi rumah atau bangunan yang masih layak dan aman dijadikan Posko Relawan. Berdirilah beberapa Posko Relawan yang siap beraktifitas.
nDodotan termasuk dusun yang jauh dari jalan raya sehingga lambat diketahui pihak donatur. EET berupaya membuka jaringan dengan fihak donatur dari Jogja dan luar Jogja serta menghubungkannya dengan koordinator Posko Relawan. Pendampingan dilakukan hanya saat awal, selebihnya mereka mampu melakukan sendiri.
Seorang ibu menyampaikan pengalamannnya bahwa ‘rasa lapar dan haus masih bisa ia tahan tetapi hasrat BAB dan BAK tidak bisa ditunda’. Pengakuan jujur ini membenarkan pengalaman saya di Nias waktu itu.
Saya sampaikan ide mencari closet dan sumur gali yang masih bisa digunakan. Mereka mendukung ide ini. Berdasarkan petunjuk warga, beberapa titik lokasi closet yang lubangnya tertutup reruntuhan bangunan dan sumur gali yang tertimbun bangunan roboh, bisa dikenali. Beberapa tukang karyawan RS Emanuel yang datang bersama EET pengganti, dibagi 2 kelompok. Sebagian bertugas mendirikan Pos Kesehatan yang juga berfungsi sebagai base camp tempat istirahat EET, sebagian lagi mengkoordinir sekelompok pemuda kampung menemukan dan ‘membangun kembali’ toilet dan memfungsikan sumur gali yang masih bisa diselamatkan. Sekelompok relawan yang menamakan diri ‘Pemuda Pasundan’ dengan sigap membantu kegiatan ini dengan sukacita. Hanya dengan ‘membawa hati’ dan tekad meringankan beban warga Jogja, mereka datang dari jauh, Jawa Barat, menumpang kereta api barang yang tanpa bayar. (Saat bencana Tsunami Pengandaran beberapa bulan sesudahnya, saya bertemu mereka disana. Sungguh tekad luar biasa sekelompok pemuda yang patut diteladani)