Sekilas ketika kita mendengar tentang Sumedang, langsung terbersit suatu makanan lezat dan murah yang dikenal dengan nama "Tahu Sumedang". Secara tidak langsung, itulah yang sebagian orang kenal dari daerah yang berada di Jawa Barat ini.
Tidak cukup kiranya ketika kita membahas Sumedang hanya dari sudut pandang kuliner berbahan Tahu yang rasa nikmatnya tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Selain itu, alangkah lebih baik apabila mengenal Sumedang melalui potensi yang lain. Mengapa bisa seperti itu?
Apabila kita mau mengulik Sumedang dari berbagai sudut pandang maka dapat ditemukan potensi menarik yang beraneka ragam. Selain dari unsur kuliner, berbagai potensi yang dimiliki berasal dari unsur demografi panorama alam yang indah, destinasi pariwisata yang menarik, dan seni tradisional yang tidak ada di daerah lain. Mengacu kepada berbagai potensi yang dimiliki, penulis tertarik untuk mengulik lebih jauh tentang Sumedang dari sudut pandang seni tradisional.
Seni tradisional Sumedang dilatarbelakangi oleh kehidupan sehari-hari masyarakatnya yang secara umum berkaitan erat dengan bidang agraris. Kebudayaan seni tradisional ini telah diberikan secara turun-menurun serta sarat akan nilai kehidupan, diantaranya seperti memohon keberkahan ketika musim tanam, selalu bersyukur ketika panen, menanamkan suka cita ketika mengolah hasil bumi dan lain sebagainya.
Adapun berbagai jenis kesenian tradisional yang tumbuh berkembang di Sumedang diantaranya adalah; Seni Karinding, Seni Beluk, Seni Gondang, Seni Genggong, Tari Umbul, Jentreng dan Kuda Renggong. Beragam kesenian ini pada umumnya menunjukkan nilai kehidupan yang mengarah kepada pertanian dan kehidupan sehari-hari masyarakat dari zaman dulu hingga sekarang.
Dari berbagai seni tradisional yang ada, penulis tertarik untuk membahas Kuda Renggong lebih jauh. Ada alasan yang sangat kuat mengapa Kuda Renggong dibahas lebih dalam. Pertama, seni tradisional Kuda Renggong merupakan satu-satunya jenis seni tari Sumedang yang mengikutsertakan kuda asli sebagai aktor utama dalam tarian. Seperti kita ketahui, sangat tidak mudah mengkombinasikan gerak tari antara manusia dengan hewan.
Kedua, seni tradisional Kuda Renggong yang telah dikenal sejak tahun 1910 ini masih terus dilestarikan dengan penuh antusias oleh para budayawan Sumedang, salah satunya adalah Supriatna (59) yang menyatakan harapan tinggi kepada para generasi muda untuk mampu menjadi penerus dan pelestari warisan seni budaya tradisional yang ada.
Seni tradisional Kuda Renggong yang berhubungan erat dengan kuda ini digambarkan dengan satwa kuda yang mampu menari. Dalam seni ini, kuda yang notabene hanya seekor hewan mampu menari dengan anggun dan menarik mengikuti irama musik. Irama musik dalam seni Kuda Renggong biasa disebut "irama tatabeuhan". Sungguh suatu hal yang di luar nalar apabila kita selama ini hanya berorientasi kepada sudut pandang terhadap kuda yang hanya seekor hewan tanpa "keterampilan".
Munculnya seni Kuda Renggong tak terlepas dari sejarah Sumedang yang menggunakan kuda sebagai alat transportasi dan alat perang. Seiring bergesernya waktu, peran kuda juga ikut menyesuaikan dengan kondisi yang ada dimana masyarakat menggunakan kuda sebagai alat dalam pacuan serta mengembangkan seni "menari".
Lebih tepatnya pada tahun 1910, Sumedang yang dipimpin Pangeran Aria Suria Atmadja mampu menjadi daerah yang kondusif di berbagai sektor. Kondisi yang menguntungkan ini turut dirasakan masyarakat khususnya para budayawan pada saat itu. Dalam suasana yang nyaman tersebut, Aki Sipan seorang pengurus kuda keraton diminta Pangeran Aria untuk melatih kuda agar mampu berbarais rapi dalam rangka mengarak cucunya keliling kota pada waktu acara khitanan.
Aki Sipan yang notabene warga Cikurubuk memiliki jiwa seni serta rasa cinta yang tinggi terhadap kuda mencoba berkreasi agar kuda tersebut mampu bergerak teratur sesuai perintahnya. Dengan ketekunan dan keahlian, kuda tersebut mampu mengangguk, mengangkat kaki dengan dinamis.