Â
Amplop
Assalamu'alaikum wr. Wr.
Apa kabarmu? Aku tidak melihatmu kemarin, juga kemarinnya lagi. Kamu membuatku khawatir. Kamu tahu, besok itu lebaran. Lebaran yang selalu kamu tunggu.
Besok, usai shalat subuh, aku dan keluarga akan menuju Mesjid Agung Cianjur. Semoga kamu masih ingat mesjid agung yang kumaksud. Iya, mesjid yang letaknya dekat dengan kantor pos berwarna oren yang selalu kamu bilang ngejreng berbanding lurus dengan warna langit-langit mesjid yang dominan hijau. Aku akan bershalat idul fitri di sana. Datang sepagi mungkin agar kebagian tempat di dalam mesjid. Kamu kan tahu, makin siang, makin banyak jamaah yang hadir, mau tak mau, karena mesjid memiliki jumlah daya tampung tertentu, yang datang siang harus bersedia shalat di pinggir mesjid, atau lebih buruk lagi, di jalan. Jangan khawatir, pada saat shaat ied, jalan ditutup, jadi aman untuk bershalat di badan jalan. Â
Bershalat ied di mesjid agung selalu menghadirkan haru sekaligus bahagia bagi kita. Kamu selalu mengatakan betapa beruntungnya dapat mengkhatamkan puasa, artinya Tuhan memberikan kesempatan untuk mengecap bulan yang penuh hikmah. Tapi puasa tahun ini, kamu menjauh, meninggalkan semuanya. Aku memahami alasan yang kamu pilih. Perjalanan mengikuti pesta demokrasi di negeri ini membuatmu sangat terpukul bahkan merasa sangat dikhianati. Aku dapat merasakan kecewamu dan aku tidak menyalahkan jika untuk sementara kamu tidak bersedia membuka gorden rumahmu. Aku menganggap bahwa itu caramu mengungkapkan kedukaanmu atas kekalahan. Ya, aku tahu, kamu menyebutnya bukan kekalahan, tapi kemenangan yang tertunda. Kamu berujar bahwa tidak dapatnya 'kursi' yang kamu incar tidak berarti bahwa kamu tidak bisa duduk. Kudengar dengan jelas bahwa kamu akan terus berjuang dan mendapatkan yang kamu pandang baik bagi negeri ini di atas dirimu sendiri melalui pintu lain.
Kamu masih ingat, setelah bershalat ied, kita akan bersalaman dengan siapapun yang berpapasan di jalan, kenal atau tidak. Tangan-tangan saling bersambut dan diiringi doa semoga kembali fitri, lahir kembali. Aku sangat senang jika kamu bisa ikut shalat ied bersama dan bersalaman. Kamu akan didoakan orang yang tak dikenal sekalipun, agar kamu kembali fitri, kamu lahir kembali sebagai orang baru yang bisa memaafkan orang-orang yang menumpang hidup padamu pada saat kampanye. Mereka mengaku saudaramu, mengaku sahabatmu, mengaku teman seperjuangan. Mereka yang memungut uang darimu untuk sebutan yang mereka labelkan pada dadanya. Kamu menyerahkan seluruh hartamu untuk memuluskan sosialisasi dengan mengunjungi rakyat di rumahnya, dengan menjelaskan visi misimu, dengan pendekatan yang mencerdaskan, bukan membodohi rakyat dengan dicocok uang seratus ribu lantas colok nama yang tak dikenal.
Aku akan tetap menyiapkan ketupat dan opor ayam. Kamu boleh memilih, memakannya dirumahku atau kamu bawa panci dan ketupatnya ke rumahmu. Bagiku, keduanya memberikan rasa bahagia. Keluargamu dan keluargaku adalah satu keluarga yang terikat dengan rasa hormat tanpa mengurusi kamu berbendera apa, aku memakai panji apa. Hari ini, aku ke pasar induk. Pasar yang kamu sebut pasar yang menjual derita. Ya, aku setuju untuk alasan logismu: pasar baru, pasar gusuran itu memang tidak strategis secara tempat, seng tanpa penghalang sebagai atapnya menyiksa siapapun yang berada di bawahnya dengan sengat mentari yang tak terserap, tata letak kios yang membuat pembeli pegal tak jelas.Â
Aku tetap harus berangkat ke pasar terisolasi itu untuk membeli daging sapi dan daging ayam. Dan, satu lagi, hampir lupa, akan membeli 'apu' kapur sirih untuk membuat ketupat. Aku sudah membeli kulit ketupatnya di pinggir pemakaman Sirnalaya 1. Kamu tentu masih ingat kenapa aku membelinya di sana. Benar, aku ingin menghargai usaha kaum termiskin di desa ini dengan membayar jerih payahnya. Aku tidak akan memberi mereka uang tanpa sebab, termasuk intimidasi yang mereka selubungkan dengan angkat tangan ambil berucap, 'mana sodakohnya?'
Kuharap surat ini membuatmu sedikit terhibur. Dunia terus berjalan dengan atau tanpa kiprahmu di politik. Seperti yang pernah kukatakan, siapapun presidennya, siapapun legislatifnya, aku akan tetap sahabatmu, yang mengkhawatirkanmu dengan sangat. Besok, jangan ragu-ragu untuk membuka gorden jendela depanmu. Dengan cara itu, aku tahu bahwa kamu telah membuka penutup kedukaanmu dengan sinar matahari baru yang akan masuk ke hatimu tanpa terhalang gorden. Tidak ada yang hilang setelah ketidaklolosanmu di legislatif. Sebaliknya, kamu mengetahui dengan benar sekarang, mana sahabat yang sesungguhnya, mana teman yang sejati dan mana saudara yang nyata. Jangan terlalu lama berduka. Serahkan kepada Tuhan. Kita harus kembali megingat kata Quraisy Shihab, "Manusia wajib berkhtiar sampai titik darah penghabisan, setelah itu, biarkan tangan Tuhan bekerja."
Kamu telah bekerja sangat luar biasa. Kini, biarkan tangan Tuhan menyentuhmu. Besok, kamu bisa mulai dengan kembali ke dunia nyata, bershalat iedlah. Aku akan menunggumu di depan gang yang biasa. Setelah itu kita akan berjalan kaki, menelusuri jalan nan lengang di subuh buta.
Salamku untuk istri dan anakmu. Aku akan membawa hot wheel model terbaru untuk anakmu, semoga itu jadi pelengkap untuk kebahagiaanya.
Let bygone be bygone, itu permintaanku. Kita mulai hidup yang baru, dengan cara baru: banyak bersyukur karena kita masih diberi hidup. Dengan hadiah hidup, kita bisa menghidupkan semua impian. Sampai besok.
Salam takzim,
PemilihmuÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H