1.
Lebaran ini Hendri akan pulang. Ia menyiapkan semuanya: baju baru untuk Ibu tirinya, kemeja baru untuk ayahnya, baju kaos untuk adik tirinya, sirop Marjan rasa Markisa kesukaan ayahnya, kue-kue kaleng, kue-kue lebaran yang dipesan dari Bu Narti, dan segala barang yang sebetulnya tidak perlu, semuanya telah dikemas. Bingkisan itu menggunung, berjejal-jejal berebut tempat dengan koper berisi baju dan susu keperluan anaknya.
Semua telah siap termasuk uang kertas rupiah yang masih harum, baru keluar dari bank untuk dibagikan kepada keponakan dan saudara-saudaranya. Sudah 15 tahun Hendri tidak pulang. Semenjak ia meninggalkan rumah, sejak ayahnya menikah lagi dengan alasan tidak ada yang mengurus; Hendri sebagai anak lelaki satu-satunya tidak bisa menggantikan peran ibu.
Ayah butuh istri pendamping hidup yang mengurusi makannya, menyiapkan baju kantornya, mengelapkan sepatunya, membuatkannya sirop Marjan dengan es batu ketika tiba di rumah setelah seharian kerja. Ayah sungguh tidak berdaya tanpa seorang istri. Dia merelakan anaknya diurus adiknya yang belum beranak, ketimbang harus tidak jadi menikah dengan seorang gadis lulus SMA pengganti ibunya.
Hendri meneguhkan hatinya, menguatkan segenap niatnya. Setiap perkataan ibu tirinya yang melarang jangan menemui ayahnya karena hanya akan membuat luka baginya, tidak digubrisnya. Ia ingin pulang, merayakan hari kemenangan bersama ayahnya yang belum pernah melihat cucunya.
2.
Tiba di depan pintu yang dulu ditinggalkannya selama 15 tahun membuat Hendri tertegun. Rumah kayu yang dikenal setiap jengkalnya, telah berubah menjadi rumah model minimalis dengan taman kecil di depannya. Hampir tidak percaya ketika ia mengayunkan langkah masuk ke dalam rumah dirinya diselamatdatangi berbagai ukiran Bali. Ibu tirinya memaksakan mulutnya mengucapkan selamat datang padanya. Sungging senyumnya terlihat bagaikan ukiran Bali yang dibuat dengan tidak sepenuh hati.  Begitu kasar, kaku, tidak seimbang dengan keelokan lukisan  gadis Bali yang menempel di dinding ruang tengah yang sedang dimasukinya.
Pada saat bertemu ayahnya, Hendri tidak menemukan kerinduan di perkataan ayahnya. Seolah mereka berpisah baru sehari yang lalu. Pulang dengan sambutan air mata pertemuan ayah-anak tidak terjadi. Yang ada, ayahnya menyuruh Hendri segera beristirahat dan pada saat berbuka nanti bisa mengobrol, begitu katanya. Sungguh perintah yang ganjil untuk menyambut kedatangan darah daging yang dulu dititipkan dibesarkan pada adiknya.
3
"Aku tidak mau dia berlama-lama di sini Yah," terdengar bisik suara perempuan dari ruang dapur. Hendri memasang telinga untuk bisa mendengar apa respon selanjutnya.
"Tidak bisakah kamu menerima anakku? Aku ini ayahnya, yang telah menelantarkannya demi memenuhi permintaan syarat pernikahanmu dulu." Suara yang mengandung kemarahan terlontar dari dapur dan sampai ke telinga Hendri.
"Jika Ayah menyesal memilihku jadi istrimu, tinggalkan aku. Aku bawa Ade. Silakan Ayah menikmati lebaran dan memulai kehidupan tanpaku, karena anak kesayanganmu telah pulang. Bukankah Ayah dulu bersedia memulai hidup baru denganku tanpa ada embel-embel anak tiri."
Setelah itu senyap. Udara dari dapur tidak menghantarkan bunyi apa-apa lagi. Hendri termenung. Ia mengerti sekarang kenapa dulu ia diminta tinggal bersama bibinya. Waktu itu ayah menjelaskan bahwa bibi akan punya anak setelah memiliki anak pemancing.
"Biasanya naluri keibuan akan muncul setelah merawat anak," ujar Ayah dengan meyakinkan. Hendri yang baru saja kehilangan ibu, harus pula kehilangan ayah. Kegamangan itu dihapus ayah dengan iming-iming-iming Hendri telah menolong menyelamatkan bibinya dari perceraian jika bersedia tinggal bersamanya dan menjadi pemancing bagi jabang bayi di rahimnya. Setelah itu yang Hendri tahu, ayahnya memiliki istri baru yang hampir seusia dengannya.
4.
Rumah indah minimalis terasa sempit bagi Hendri. Pulang yang diinginkanna untuk menjalin hubungan ayah-anak tidak akan terjadi. Lama ia termenung. Siksaan mendera batinnya setiap kali terngiang syarat pernikahan ayahnya adalah dengan memutuskan hubungan ayah-anak; ibu tirinya jelas-jelas tidak mau mengurus anak tiri yang seumuran dengannya.
Hendri sangat tahu ayahnya adalah orang yang tidak akan pernah mencedarai janji. Bersumpah memilih istri baru dan melepaskan anak yang dijadikan mahar akan dipenuhinya dengan bayaran apapun. Hendri menimbang-nimbang pilihan untuk tetap berlebaran atau kembali pulang ke rumahnya. Hendri bisa membayangkan bagaimana bibinya akan tersenyum dan berkata, "Benar kan Dri? Keluargamu di sini, bukan di sana. Pulang berlebaran sambil menjenguk ayahmu, bukan pilihan yang tepat."
Pulang kembali ke rumahnya dan berlebaran dengan bibinya yang ia panggil Mama memenuhi isi kepalanya. Hendri mengajak istri dan anaknya berkemas untuk pulang.
5.
Kapal Motor Arista merupakan kapal nelayan yang bersedia menyeberangkan Hendri dan keluarganya ke Makassar. Perjalanan pulang terasa berat ketika kakinya meninggalkan pelabuhan Paotere. Hendri menyaksikan nakhoda memasukkan mobil, motor dan barang-barang lainnya ke dalam kapal. Kapal nelayan itu terasa terlalu sempit untuk menyeberangkan segala kesedihannya dan menggantinya dengan ceria canda bibinya yang menunggunya di pulau Baranglompo.
Lebaran ini menjadi perjalanan yang aneh bagi Hendri. Dirinya merasa bisa pulang ketika bertemu ayahnya. Tapi ayahnya merasa bisa pulang jika hanya berlebaran dengan istri baru dan anaknya saja. Sedangkan Hendri dipaksa harus merasa pulang ke bibinya yang mengakuinya sebagai darah dagingnya. Urusan pulang ini memusingkan Hendri, dan mengolengkan kapal yang ditumpanginya.
Hendri melihat dengan jelas dirinya, istrinya, anaknya dan penumpang lainnya dengan perlahan masuk ke dalam air. Hantaman ombak besar membuat kapal motor kelebihan penumpang itu tidak bisa bertahan.
6.
Hendri tenggelam. Karam 5 mil dari pelabuhan Paotere. Kapal motor yan ditumpanginya kelebihan penumpang yang semuanya ingin pulang, berlebaran bersama keluarga.
Ibu tirinya membaca berita kapal motor tenggelam dengan linangan air mata, sedikit sungging senyum menghias bibirnya. Dia berbisik, 'Syukurlah kamu pulang. Semua harta ini nanti tidak lagi perlu dibagi dua denganmu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H