Ibu diam saja. Diam memang pilihan yang tepat bagi Ibu. Sepenggal kalimat saja Ibu berucap, Ayah akan menimpali dengan berparagraf-paragraf berisi permakluman bahwa Ayah adalah manusia biasa yang sedang berusaha dan tidak adil jika dipersalahkan setelah berusaha bergitu kuat. Perempuan kadang tidak sensitif, begitu kritik Ayah pada Ibu.
"Ayah harap Fitri bisa menjadi andalan keluarga. Sebagai anak tunggal, Fitri harus menyokong kehidupan orang tua," Ayah menyampaikan idenya pada Fitri. "Kamu harus mendukung usaha Ayah. Jejaring yang Ayah bangun selama menjadi caleg memerlukan dukungan seluruh keluarga." Ayah melabuhkan kata-kata mengatasnamakan tanggung jawab dan balas budi dalam keluarga.
"Ayah menanti Fitri. Menanti Fitri untuk mendukung ide Ayah." Suara Ayah tegas, matanya lurus menatap bola hitam mata Fitri yang menyiratkan tanya.
"Ada teman dalam jejaring yang dibangun Ayah yang memerlukan anak gadis. Sudah Ayah sanggupi pertukaran peluang kerja untuk Ayah dengan menempatkan Fitri pada posisi menjadi teman sekamarnya selama semalam saja. Itu awal membangun jejaring. Setelah itu, Ayah mendapatkan posisi di cabang perusahaanya, dan hutang ke bank yang harus dibayar dalam 10 tahun, bisa mulai Ayah cicil. Dan lebaran ini, kita bisa bergembira."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H