Mohon tunggu...
Badriah Yankie
Badriah Yankie Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk keabadian

Badriah adalah pengajar bahasa Inggris SMA yang menyukai belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cerpen | Menanti Fitri

23 Mei 2019   19:42 Diperbarui: 23 Mei 2019   20:12 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu enggan bertukar kata dengan Ayah. Ibu tidak akan menyinggung sedikitpun kekurangan suami yang mandul penghasilan, dan tak pernah menghidupinya. Ibu malah menyalahkan diri sendiri. Ibu menyalahkan keputusannya dulu memilih Ayah sebagai suami dan kini harus menanggung seluruh akibat dari pilihannya. Fitri tahu, Ibu berpendapat bahwa setiap keputusan memiliki konsekwensi.

Dengan modal gaji  digadaikan 10 tahun yang mencekik nafas, hari-hari pencalegan Ayah dipenuhi dengan asap rokok mengepul tiada henti di rumah Fitri yang sempit. Ayah terlihat seperti sosok pahlawan yang mengajak rakyat menuju kehidupan baru yang lebih cerah dengan menunjuk dirinya sebagai wakil di legislatif. 

Ayah menjelaskan suara rakyat yang memilih dirinya yang akan mengubah wajah garis nasib telapak tangannya. Rakyat yang sehari-hari berjualan mi tek-tek akan dibantu disediakan koperasi yang modal dan hasil usahanya diberikan untuk anggota. Rakyat yang menjadi tukang ojek akan dibantu asuransi keselamatan kerjanya. 

Ayah berbusa mengajak rakyat untuk menyerahkan suara pilihannya dengan mencoblos nomor di depan namanya. Rakyat yang bermandi lumpur menanam padi akan dibeli hasil panennya dengan harga tinggi plus, disediakan pupuk dengan harga murah. Rakyat akan Makmur, seluruh gaji Ayah sebagai anggota legislatif, semuanya, untuk kesejahteraan rakyat. Tugas wakil rakyat adalah menyelematkan rakyatnya, mendahulukan rakyatnya.

Berbarengan dengan menggebunya Ayah mencari kerja lewat caleg, alih-alih Fitri menonton pertarungan hidup mati untuk kehidupan keluarganya. Ibu tak lagi berdaya dengan seluruh uang telah dijadikan modal menjadi caleg Ayah.

Ayah, sumringah. Pagi, siang, malam, habis waktunya untuk berbicara. Keahliannya memang berbicara. Bagi Ayah, bicara adalah bekerja. Ke setiap kampung, dapil, Ayah berbicara, menawarkan namanya untuk perubahan nasib, menggadangkan seluruh gajinya nanti untuk mengaspal jalan dan gang-gang.

Pertarungan hasil memulai kerja dikabarkan pada bulan puasa. Ayah sama sekali tidak merasa kalah ketika dia tidak dipilih siapapun. Rakyat yang dipuji-pujinya memiliki suara Tuhan, memiliki kekuatan untuk mengubah wajah negeri, memiliki harapan pekerjaan baru jika Ayah mendapatkan satu kursi, tidak mencoblos nomor yang ditulis di depan namanya. Ayah membeli mahal suara kosong rakyat dengan menjadikan istrinya sendiri agunan untuk bank.

Kini terpaksa Ayah menikmati puasa bicara. Tidak ada lagi para lelaki yang berduyun-duyun datang ke rumahnya mengeluhkan istrinya hendak melahirkan yang ditutup ayah dengan memberinya lima lembar uang lima ratusan. Tidak lagi ada pria mengetuk pintu mengeluhkan badannya demam karena belum makan dan disudahi dengan tiga lembar uang ratusan berakhir di tangan pria itu. 

Tidak ada lagi ibu-ibu yang memuji-muji Ayah sebagai caleg yang merakyat. Tidak lagi ada gadis remaja yang mengintil meminta selfi dengan melabeli Ayah caleg gaul. Semua yang datang ke rumah, semua orang yang dikunjungi Ayah sepakat bahwa Ayah caleg dermawan berhati mulia. Kesepakatannya itu membuat dompet Ayah makin tipis. Sedangkan Ibu dan Fitri makin meringis membayangkan 10 tahun ke depan harus berpuasa menggantikan eksperimen Ayah mencari kerja.

Ayah meminta Ibu untuk tidak berkomentar. Ayah tidak membutuhkan komentar Ibu, Ayah hanya perlu Ibu mendengarkan Ayah bicara, karena itu keahliannya.

"Kekalahan pada caleg hal biasa," begitu Ayah berkilah. "Masih untung Ayah tidak menjadi gila" tambah Ayah. "Semua usaha ini telah optimal, tapi memang Ayah belum berjodoh mendapatkan kerja. Ibu harus sabar. Dari caleg ini, paling tidak Ayah punya jejaring. Kalau tahu nyaleg itu begini, Ayah menyesal tidak mendaftarkan jadi caleg RI."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun