Berpuluh Ramadan telah saya lalui, namun entah berapa Ramadan yang akan bisa kujelang nanti setelah 2019. Seperti halnya individu lain yang dengan sukacita menyambut Ramadan, saya pun penuh resonansi bahagia mengucap selamat datang Ramadan 2019. Kebahagiaan yang saya sendiri yang dapat mengukur kadar kekhidmatannya. Ramadan tahun ini, Ramadan yang tidak lagi sama dengan Ramadan tahun sebelumnya bahkan tidak akan sama dengan Ramadan yang mungkin masih bisa kucecap tahun depan.
Ramadan ini, saya akan memulai sesuatu yang sangat baru yang diasumsikan menjamin terjadinya perubahan kualitas diri. Saya akan membaca buku digital yang disediakan oleh iPusnas setiap hari. Untuk tujuh hari pertama, saya telah mencatat nama Samsoedi, seorang penulis buku anak-anak berbahasa Sunda yang namanya diabadikan menjadi nama hadiah sastra bagi penulis cerita anak-anak berbahasa Sunda. Â Buku yang akan saya baca diantaranya: Carios Peperangan Dipanegara, Cari Budak Minggat, Babalik Pikir, Carita Si Dirun, Jatining Sobat, Surat Wasiat, Si Bohim jeung Tukang Sulap, Carita Nyi Halimah, dan Budak Teuneung.
Resolusi membaca buku-buku berbahasa Sunda karya Samsoedi bagi saya merupakan upaya untuk meningkatkan pengetahuan mengenai budaya Sunda pada masa penjajahan dan masa-masa awal setelah kemerdekaan. Berkunjung pada masa lalu akan menajamkan pemahaman saya terhadap masa kini. Noah Harari, pada bukunya, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow telah menjelaskan dengan gamblang bagaimana manusia menjadi penghuni dunia paling dominan pada masa kini. Â
Sebagai orang Sunda dan berbangsa Indonesia, sangat penting bagi saya untuk melakukan penyegaran kembali mengenai dari budaya mana saya berasal. Tulisan Samsoedi menjanjikan kupasan rinci tentang polah dan tingkah manusia Sunda dan saya harus bersilaturahmi dengannya melalui tulisannya. Perjumpaan saya dengan Samsoedi memungkinkan saya mengenal dengan lebih baik mengapa tabiat saya seperti ini sekarang.
Tulisan Noah Harari membukakan pikiran pembacanya mengenai siapa, sedang apa, dan mau kemana manusia itu menuju. Membukakan pikiran tentang masa lalu, sama pentingnya dengan sedikit mengetahui seperti apa masa datang itu berwujud.
Kedua, Ramadan ini akan diisi dengan sesuatu yang selama hidup saya tidak pernah dilakukan. Saya menantang diri saya sendiri untuk menulis setiap hari. Tantangan ini terasa dipaksakan bahkan melampaui kemampuan saya sendiri. Begitulah sifat sebuah tantangan: tidak terjangkau dengan mudah. Untuk memenuhi tantangan yang saya ikrarkan sendiri, saya harus menyatukan pikir, badan, dan waktu untuk bisa mewujudkannya.
Menulis menjadi aktivitas yang berat, ide tidak bertebaran begitu saja sehingga bisa saya pilih tanpa desah bingung. Ide menulis merupakan komoditi mahal bagi saya. Beruntung, usai shalat tarawih saya membuka Kompasiana.  Tertulis pada event bahwa Kompasiana menyediakan tema yang harus ditulis setiap hari. Thanks to Kompasiana, tantangan untuk diri sendiri yang terdengar mustahil untuk menjadi nyata, kini telah dibantu disediakan lahan untuk mewujudkannya.
Saya memimpikan bulan Ramadan ini menghasilkan satu buku tunggal yang sumbernya dari tulisan yang ditulis setiap hari. Kompasiana menjadi bank tulisan yang menabung tulisan saya, kelak, pada akhir Ramadan saya akan menyerahkan seluruh tulisan untuk menjadi buku. Judul yang akan saya pakai adalah judul tulisan hari pertama, yakni Ramadanku Tak Lagi Sama.
Usai berlebaran, saya bisa berkata kepada diri sendiri bahwa Ramadan tahun ini membawa banyak perubahan. Secara mental, saya mendapatkan pengajaran tentang budaya dari Samsoedi.
Masih secara mental, saya akan pula membaca buku lain dari Noah Harari: 21 Lessons for 21st Century. Andai bukunya tidak dapat saya miliki, saya akan berpindah mencari buku Dan Brown berjudul Origin. Membaca Dan Brown mengenalkan saya pada Robert Langdon yang ahli sejarah. Saya menyukai sejarah, maka Ramadan ini akan saya gunakan untuk mengenal sejarah secara intens agar saya sendiri memiliki dan mengukir sejarah saya sendiri.
Sedangkan secara sosial, saya akan memiliki sebuah buku atas nama saya sendiri. Terdengar agak sedikit keterlaluan memang, saya yang bukan siapa-siapa mencoba menorehkan nama sebagai penulis. Tindakan ini, tentu bukannya tanpa alasan. Saya tidak tahu apakah Ramadan tahun depan saya masih bisa menikmatinya.