Mohon tunggu...
Badriah Yankie
Badriah Yankie Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk keabadian

Badriah adalah pengajar bahasa Inggris SMA yang menyukai belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendekatan Pengajaran Kodrati

26 Januari 2017   13:46 Diperbarui: 26 Januari 2017   13:51 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hampir setiap hari kita disuguhi informasi kurang menyenangkan tentang pendidikan di negeri ini. TV memberitakan tawuran antar pelajar yang secara brutal saling bertukar lempar batu. Siswa SD membunuh temannya karena hal kecil yang sama sekali tak masuk akal untuk jadi alasan merenggut nyawa seseorang. Baru-baru ini diberitakan seorang lbu kehilangan anaknya untuk selamanya karena nyawanya dengan tanpa manusiawi disingkirkan temannya sendiri pada saat kegiatan kampus yang dikelola kakak tingkat.

Kengerian, kekejaman, dan tindakan biadab merusak sakralnya pendidikan. Pendidikan yang masih menjadi tumpuan perubahan hidup, berubah menjadi tempat yang menghancurkan hidup.

Anak seorang petani disekolahkan dengan hampir menjual sawah yang menjadi satu-satunya sumber biaya pendidikannya. Anak pedagang, disekolahkan dengan menghabiskan hampir sampai ke modal pokoknya. 

Pendidikan tidak melahirkan anak petani, anak pedagang yang terdidik. Tamat sekolah, anak petani, malu jadi anak petani dan tidak mau bertani. Demikian pula dengan anak pedagang. 

Pendidikan seolah membuat kepribadian baru yang tidak sesuai harapan, biaya, dan waktu yang telah dikorbankannya.
Pendidikan menaikkan gengsi dalam meningkatkan rasa malu untuk menjadi warga negara pekerja keras seperti yang dilakukan orang tua dan pendahulunya.

Kembali ke kodrat 
Diasumsikan terjadinya produk pendidikan yang tidak sesuai harapan karena kurikulum. Namun asumsi ini ditolak. Kurikulum telah direncanakan dan dibuat sedemikian rupa sehingga menyentuh sisi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara seimbang.

Dugaan lain muncul, guru kurang mumpuni untuk menghasilkan warga negara yang santun namun terdidik. Dugaan ini dimentahkan dengan fakta guru di Indonesia telah tersertifikasi dan paling tidak lulusan S1.

Hasil penelitian mengatakan bahwa proses pendidikan harus dilakukan secara otentik sehingga melahirkan pengalaman belajar otentik.
Saat ini ditenggarai, pendidikan mencoba melakukan penilaian secara otentik namun tidak dibarengi dengan pemberian pengalaman belajar yang otentik.

Belajar seolah sebuah pekerjaan yang ditandai dengan adanya hasil, yaitu nilai. Pemikiran ini terlalu menyederhanakan belajar. Akibat dari cara pandang ini, maka proses belajar tidak mengikuti alamiahnya manusia belajar. Sebagai contoh, dalam belajar bahasa.

Manusia bisa menguasai bahasa dengan mendengar, meniru, mencoba mengucapkan berulang-ulang, ketika salah orang tua/siapapun yang ada pada saat mendampingi membetulkannnya, mencoba membuat kombinasi kalimat dengan menggabungkan kosa kata, barulah bisa berbicara.

Hal ini tidak terjadi di dalam kelas sebagai komunitas baru tempat diperolehnya bahasa asing misalnya. Tidak sedikit pelajaran berbahasa untuk membuat siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa tersebut, berubah menjadi pelajaran tentang bahasa. Akibatnya para siswa menghafal rumus kalimat.
Cara ini, tidak otentik. Hasilnya, tidak otentik. Sejatinya mampu berkomunikasi dalam bahasa asing, menjadi menguasai tata bahasa asing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun