1 Juni, idealnya adalah sebuah hari yang baru di bulan baru dan seharusnya disambut dengan asa dan antusiasme baru dari seorang pemuda dalam segala hal. Selain optimisme dan pemikiran positif untuk melanjutkan tahun 2011, Anda seharusnya siap terbuka bagi banyak tantangan dan pemikiran baru dalam melanjutkan perjalanan di tahun ini. Namun seorang pemuda memilih bersikap lain. Dia merenung dan bermuram durja. Bukan, bukan karena dia habis pengharapan, dan bukan pula karena tidak memiliki kejelasan masa depan. Perenungannya akan kondisi sekitar mengantarkan pada sebuah kemirisan kondisi pemuda di sekitarnya. Sangat menakutkan membayangkan apa yang akan terjadi ke depan jika melihat apa yang sedang dinikmati sekarang.
Inilah kesedihannya. Kita harusnya menangis dengan kenikmatan kemerdekaan yang diperoleh sekarang. Dia bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan terjadi apabila dahulu--di masa-masa perjuangan pra-kemerdekaan--para pemuda memilih untuk asik memikirkan prospek dan kekayaannya di masa depannya, alih-alih memikirkan SESUATU yang akan mengubah nasib sebuah bangsa untuk selamanya?
Apa jadinya jika Jo Leimena tidak melarikan diri dengan mengendap-endap dalam sebuah kapal menuju Jawa, hanya untuk bersekolah hukum (yang akhirnya diterima di sekolah kedokteran)? Namun dia memilih untuk berhenti meratapi nasib dan berpengharapan untuk sebuah bangsa yang bermartabat, dan masa depannya adalah taruhannya.
Apa jadinya jika seorang Soetomo hanya menikmati keistimewaan sebagai kaum terpelajar, tanpa sebuah rasa bersalah untuk menolong bangsanya keluar dari jerat kebodohan? Namun dia memilih untuk bersusah-payah mendirikan sebuah yayasan yang siap untuk mengguncang sebuah peradaban dengan mengandalkan budi pekerti dan kecerdasan.
Apa jadinya jika seorang Soekarno (yang pernah dihukum ketika mencontek di Ujian Mata Kuliah Geodesi) merasa cukuplah menjadi "mahasiswa ITB", tanpa berpikir dan meringis melihat perlunya berjuang untuk sebuah kemerdekaan dari penjajah--yang normatifnya adalah rekan-rekannya sendiri di kampus dan kancah politik? Namun dia memilih meninggalkan kenyamanan dan menjadi yang terdepan dalam sebuah perlawanan atas ketidak-adilan dan revolusi besar.
Ada ribuan kemungkinan yang bisa direka-reka ketika kita menelisik sepak terjang para pendiri bangsa ini. Ada begitu banyak yang ditinggalkan, dan begitu besar ego ditanggalkan. Masa depan jelas menjadi taruhan, dan kenyamanan jelas menjadi harga yang harus dibayar.
Mari lihat kepemudaan sekarang. Adakah yang kurang dengan potensi? Bagaimana dengan kecerdasan? Di tengah-tengah gemerlapan kenikmatan arus koneksi dunia maya dengan segudang potensinya, pemuda justru ambruk secara moral-spiritualnya, dan memilih jalan oportunis-pragmatis yang menggantikan semangat persatuan, toleransi, dan transformasi perikehidupan. Anda akan berjalan di kampus dan melihat calon-calon budak liberalisme yang mahal nan terpelajar, yang berjuang untuk sebuah panggilan wawancara dari tuan yang akan menggaji PALING MAHAL. Tidak ada keraguan dan rasa bersalah untuk menikmati semua kenikmatan, meskipun dunia sekitar sekarat tanpa pengharapan.
Jika dahulu para pemuda khawatir dengan nasib dan masa depan bangsanya, maka sekarang seorang pemuda khawatir kalau-kalau dia tidak akan mendapat ribuan dollar per bulannya ke sakunya.
Jika dahulu para pemuda khawatir dengan segala bentuk pembodohan bagi kaumnya, maka sekarang seorang pemuda malah diakselerasi untuk membangun pembodohan pribadi (yang terlihat seperti pencerdasa bagi beberapa orang), dengan berhenti memikirkan ketidak-adilan di sekitarnya, dan menyerah untuk melakukan sesuatu dari hal-hal terkecil bagi mereka.
Tuhan peduli akan sebuah bangsa. Dia pasti kecewa dengan apatisme taruna-tarunanya.
Pemuda ini berhenti merenung, bergelora untuk perubahan, dan mematikan semua sensorik ketidak-adilan di sekitarnya.
Sungguh....
Ketika pemuda berhenti berubah dan mengubah, runtuhnya sebuah bangsa adalah taruhannya...
"Berjuta rakyat menanti tanganmu, mereka lapar dan bau keringat..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H