Melalui pertarungan sengit, Real Madrid akhirnya meraih trofi ke-11 kompetisi elite sepak bola Eropa setelah menaklukkan tim sekotanya, Atletico Madrid. Stadion San Siro  (29/5), menjadi saksi bagaimana Los Blancos untuk kedua kalinya menundukkan Atletico Madrid dalam partai puncak dan keluar sebagai juara setelah menang susah payah dalam drama adu penalti.
Ada yang tersisa dari ajang final Liga Champions 2016 yang berakhir dramatis itu. Terlepas dari suksesnya Christiano Ronaldo memastikan kemenangan El Real, pertandingan yang kedua kalinya mempertemukan tim ibukota Spanyol di final Champions ini memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana memaknai sebuah kekalahan.
Sejatinya, pertandingan tersebut begitu memikat dengan serangan bergantian dari kedua tim. Atletico yang terbiasa dengan strategi bertahan dan serangan balik, kali ini melayani permainan terbuka El Real. Namun, tim terbaiklah yang terpilih sebagai juara. Pengalaman bertanding di kasta tertinggi Eropa plus mayoritas pemain yang memiliki determinasi dan sangat paham dengan keinginan pelatih, cukup menjadi alasan atas kemenangan Los Blancos.
Salah satu pemain yang merasa paling terluka dan ‘guilty feeling’ atas ‘tidak beruntungnya’ Atletico tampil sebagai kampiun adalah Juanfran.  Sebagai eksekutor keempat, ia  gagal menghantarkan bola ke gawang Madrid. Padahal, sepanjang 120 menit pertandingan, sebagai pemain belakang, pemain ini tergolong sukses membantu serangan Los Rojiblancos, sebutan Atletico Madrid.
Umpan silangnya yang demikian terukur, berhasil dikonversi menjadi gol cantik oleh Yannick Carrasco, sehingga memaksa pertandingan harus diselesaikan melalui adu penalti. Namun apa daya, bak antiklimaks, tendangannya yang menerpa tiang gawang saat tos-tosan, berkontribusi besar menjadikan Real Madrid, sang pesaing, sebagai pemuncak Liga Champions. Demikian perih hatinya, sampai ia khusus menulis surat permohonan maaf kepada para penggemar, meskipun mereka tak menaruh sakit hati sedikitpun padanya.
Nah, di sini poinnya! Apakah ada hujatan fans yang mampir ke Juanfran? Adakah cacian, makian, atau timpukan batu saat ia meninggalkan lapangan? Semua itu tidak level untuk Atleticos, sebutan fans fanatik Atletico Madrid! Sedikitpun tak berkurang apresiasi dan simpati penggemar. Tetap ada penghormatan untuk gelandang berusia 31 tahun ini. Bagaimana dengan respon pelatih Diego Simone? Kecewakah dia? Jelas! Tetapi apakah semua kesalahan ini ditimpakan kepada Juanfran? Absolutely not!
Di luar perkiraan, pelatih temperamental itu tak sedikitpun menimpakan kekalahan tim kebanggaannya kepada pasukan yang sudah mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Ia bahkan menyesali tak mampu memuaskan dahaga para penggemar yang haus akan gelar Piala Eropa. "Saya tak bisa memberikan apa yang suporter inginkan. Itu yang paling menyakitkan. Melihat mereka sedih, membayar mahal untuk datang ke sini, benar-benar menyakitkan untuk saya," ujarnya lirih.
Simeone memandang kekalahan timnya dalam pertarungan final tersebut  dari perspektif yang demikian tinggi. Kekalahan bukan sekedar skor matematis yang menunjukkan neraca negatif. Kekalahan bukan semata pulang dengan tangan hampa tanpa kalungan medali. Baginya, kekalahan adalah ketidakmampuan memberikan kepuasan kepada stakeholder-nya, salah satunya fans. Kegagalan meraih kemenangan berarti kekhawatiran luar biasa akan ditinggalkan oleh pemain ke-12 nya, yaitu para penonton setia.
Hubungan Timbal Balik
Bila hal ini kita terjemahkan dalam kehidupan bisnis perusahaan, betapa ada resultante antara perusahaan dan stakeholder. Pemangku kepentingan bukan lagi semata pelanggan atau investor, melainkan termasuk di dalamnya komponen karyawan atau pemerintah sebagai regulator. Keempat hal di atas biasa disebut primary stakeholders, tentunya selain layer berikutnya seperti serikat pekerja, media, atau LSM.
Siapapun stakeholdernya, dipastikan memiliki hubungan timbal balik dengan perusahaan. Meskipun faktanya, primary stakeholders adalah pihak-pihak yang paling menentukan atas sisi ekonomi dan paling menanggung risiko atas going concern perusahaan, tetap tidak bisa hanya memandangnya dari sisi kepentingan transaksional saja, atau hanya satu arah, semata demi kepentingan perusahaan.
Kini, perusahaan tak lagi bisa bekerja sendiri dalam tatanan nilai pola hubungan masyarakat, karena semua pihak menuntut adanya sikap profesionalitas. Hubungan yang dibangun untuk tujuan long term, bertumpu pada prinsip kemitraan. Bukan lagi menumpuk laba dan membagi dividen an sich. Perusahaan juga bersama stakeholdersnya, baik internal maupun eksternal dituntut harus bisa membangun kualitas kehidupannya ke arah yang lebih baik.
Betapa seorang Diego Simeone yang notabene bukan pemilik perusahaan besar, memberikan pelajaran hidup kepada kita bagaimana memaknai sebuah kekalahan. Jujur! Bukan kemenangan El Real yang menjadi highlightdi sini, tetapi sikap menerima hasil negatif dari punggawa Atletico yang patut mendapat apresiasi. Gracias Simeone!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H