Salam satu profesi, Salam Literasi.
Kemarin saya masih bisa menerima ketika ada wacana untuk mengevaluasi semua kegiatan luar sekolah yang melibatkan siswa dan guru. Bahkan ketika ada banyak desakan agar semua bentuk kegiatan itu di hapuskan dari sekolah.
Namun saat kejadian itu kemudian menyalahkan guru sekolah bahkan konon sekolah sempat di tutup, itu sudah terlalu jauh. Sudah terlalu jauh dan takutnya ada agenda lain dibalik semua itu. Ini sudah tak benar lagi.
Bukan kita tak berempati atas tragedi tersebut. Bukan pula seperti berlepas tangan dari semua tanggung jawab. Tapi reaksi yang berlebihan itu juga tidaklah elok. Siapa yang tak sedih dengan kejadian itu? Semua kita sangat berduka.
Namun itu bukan berarti kita serta merta bermata gelap atau malah menjadikan tragedi ini sebagai upaya membunuh karakter dan wibawa guru kita.
Takkan jadi siapa-siapa kita tanpa guru!
Dampak dari reaksi keras netizen maupun tokoh-tokoh populer terkait hal ini seperti mengamini untuk menolak semua bentuk kegiatan siswa di luar sekolah.Â
Sekarang memang rawan musibah. Banyak terjadi bencana di mana-mana. Hal ini bukan sekali dua kali pernah terjadi, di negeri khatulistiwa ini, banjir dan longsor seperti sudah menjadi agenda tahunan. Bahkan sepanjang tahun.
Tapi lihatlah, baru beberapa hari paska kejadian itu, akibat reaksi keras dan berbagai tekanan, larangan kegiatan kesiswaan itu turun. Baik dari pemprov maupun dari pemkab. Hampir serentak dan senada.Â
Kita berbaik sangka bahwa larangan ini bersifat sementara di karenakan situasi alam yang tidak mendukung. Tapi jika di kaitkan dengan tekanan agar kegiatan kegiatan serupa di tiadakan, takutnya ini akan jadi dasar penetapan aturan permanen kedepannya.
Sahabat, siapa yang bisa menolak takdir?