"Hmm, tentu! Soal yang satu ini adalah hak prerogatif Bunda dan Abah" ucapku mantap.
"Baiklah. Abah punya kenalan. Dia anak teman abahmu yang sudah lama tidak bertemu. Baik agamanya, bagus latar belakang keluarganya. Mapan ekonominya..."
"Maksud Abah dan Bunda, bukan Stevan, kan?" Ucapku bergetar. Stevan adalah profesor muda yang beberapa waktu lalu meminangnya, profesor yang sekarang berada di ruangan yang baru saja dia tinggalkan.
"Stevan anak baik, hebat dan dari keluarga terpandang pula. Tetapi kami tak mengenalnya. Abahmu keberatan...."
Aku hampir menangis. Stevan adalah tipe yang aku dambakan selama ini. Sosok yang bahkan didambakan hampir semua gadis untuk bisa membawanya kepelaminan.
"Sungguh pun Abah keberatan, bukan berarti kami menolak habis-habisan. Karena nindi minta pendapat, kami menyampaikan pendapat kami. Tetapi, jika menurut Nindi Stevan adalah pilihan terbaik, kita takkan menolak!" Ucap Bunda sedikit terges gesa.
Jantungku gemetar. Hal yang paling aku takutkan adalah ketidak senangan orang tua ku. Mendengar suara Bunda barusan, bahkan dia lebih takut kalau aku, anaknya tidak senang.
"Bunda, aku sudah menyerahkan hal ini pada Abah dan Bunda. Jangan merasa tidak enak! Bolehkah aku mengetahui seperti apa dia?" Ucapku.Â
"Baik. Bunda akan mengirim photo dan profilnya padamu segera!" Jelas, Bunda sangat bahagia.
Tak peduli, aku menuju tempat parkir, mengambil motor kesayangan dan meninggalkan ruang seminar dengan mantap. Tak ada yang paling penting selain menyenangkan hati orang tua.
"Drrrttt"