Ponselku berdering. Ku lirik pemateri yang masih sibuk presentase didepan. Sesekali layar monitor LCD didepan sana berubah. Para peserta seminar Semkin antusias. Pemateri didepan sana melemparkan senyum penuh kebanggaan padaku. Aku menanggapinya dengan anggukan kepala.
Dia salah satu profesor muda terbaik negeri ini. Diusianya yang belum menginjak tiga puluh tahun sudah berada pada posisi termasuk luar biasa. Apalagi latar belakang keluarganya  yang berasal dari petinggi pemerintah membuat posisinya naik setingkat lagi.
Aku menekan tombol terima pada ponselku. Suara Mak terdengar lembut. Suara perempuan paling mulia di hatiku itu seperti oase ditengah panasnya Padang pasir.
"Anindi, bagaimana kabarmu, Nak? Apa sudah sarapan?" Tanya Bunda lembut.
"Baik, Bunda. Tadi sudah. Abah dan Bunda bagaimana?" Balasku, imut.
Suara tawa bunda renyah diujung telepon. "Begini, Nak! Ini tentang masalah yang kemarin. Apa Nindi ada waktu bicara sekarang, Nak?"
"Bunda, ngomong apa sih?" Wajahku memerah seiring detak jantungku semakin cepat. Aku tahu apa yang akan disampaikannya. "Bisa bunda, aku keluar sebentar!"
Aku melangkah sambil memberikan isyarat kepada pemateri ganteng didepan sana untuk ijin keluar ruangan. Dia kelihatan tersenyum dengan wajah berseri saat melihatku memegang telepon. Dia pasti sudah menduganya.
"Bunda. Nindi sudah di luar. Jadi bagaimana menurut bunda?" ucapku sedikit antusias.
Diam sesaat. Wajahku makin merah  ada kecemasan di hatiku yang tiba-tiba menghampiri. Apa mungkin bunda menolak calon menantu seorang profesor muda dan ganteng?
"Kamu yakin, Bunda dan Abah yang memutuskan? Ini menyangkut masa depanmu lho?" Tanya Bunda retoris.